Jumat, 07 Agustus 2009

Perginya Sang Penyair Religius


BANGSA Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Seorang budayawan besar yang tiada tanding. Wilibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan WS Rendra dan belakangan berganti nama menjadi H Wahyu Sulaiman Rendra, seorang dari tiga penyair besar yang dimiliki Indonesia, disamping Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri, telah berpulang keharibaan ilahi di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (6/8) pukul 22.10 WIB pada usia 73 tahun.

Penyair dan dramawan pendiri Bengkel Teater Rendra yang sudah malang melintang di dunia kesenian sejak tahun 1952 itu meninggal setelah lebih dari sebulan dirawat akibat serangan jantung koroner di sejumlah rumah sakit, atau dua hari setelah meninggalnya seniman fenomenal Mbah Surip yang tiba-tiba melejit namanya di blantika musik Indonesia lewat lagu, Tak Gendong. Meski Mbah Surip dimakamkan di komplek Bengkel Teater milik Rendra di Depok, tapi WS Rendra tak sempat melayat karena sedang dirawat di rumah sakit sampai meninggalnya kemarin.

Ada satu pesan mendalam disampaikan budayawan Emha Ainun Najib yang memimpin doa di depan jenazah WS Rendra saat disemayamkan di Bengkel Teater Rendra di Desa Cipayung, Depok, Jumat (7/8). Kepada satu stasiun TV Emha menekankan, WS Rendra bukanlah jasadnya atau fisiknya, karena semua itu akan kembali ke bumi, tetapi karya-karyanya yang akan terus dikenang dan diabadikan.

Pesan penyair Emha itu mengandung makna religius yang mendalam, bahwa manusia diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan ke tanah atau bumi, yang akan menjadi bagiannya ulat-ulat di tanah. Sepertiga diri manusia lainnya berupa ruh akan kembali ke Allah, dan sepertiga lainnya bagi dirinya berupa amal sholeh.

Karya-karya penyair berjuluk sang "Burung Merak" tak akan pernah kembali bumi, tetapi dia akan terus dikenang dan menjadi pelajaran tentang kearifan/religiusitas kehidupan.
Seperti tertulis dalam salah satu syairnya, "...Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/Hidup adalah untuk mengolah hidup/bekerja membalik tanah/memasuki rahasia langit dan samodra/serta mencipta dan mengukir dunia/Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/Bukannya demi sorga atau neraka/tetapi demi kehormatan seorang manusia...dst".

Dari puisi tersebut, terutama pada syair pertama menunjukkan kedalaman religiusitas WS Rendra. Sebuah pengakuan bahwa tidak pada tempatnya manusia untuk mengeluh dan mengaduh, karena ini akan menjadi tempat masuknya penguasa gelap. Dengan tidak mengeluh dan mengaduh, artinya manusia mengakui Allah adalah Maha Mengetahui dan Melihat, Maha Agung, Maha Kaya, dan maha lainnya seperti tercantum dalam 99 asmaul husna.

Kita telah kehilangan seorang penyair yang bukan hanya lantang menyuarakan ketidakadilan....tetapi juga seorang penyair yang religius. Ini tercermin dari puisi Rendra, berjudul "Titipan", "...Sering kali aku berkata, ketika seorang memuji milikku/bahwa sesungguhnya ini hanya titipan/bahwa mobilku hanya titipan-Nya/bahwa rumahku hanya titipan-Nya/bahwa hartaku hanya titipan-Nya/bahwa putraku hanya titipan-Nya/tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya/mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?/Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini ?/Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?/Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Dari dua puisi itu saja sudah menunjukkan betapa hausnya seorang WS Rendra didalam pencarian jati dirinya untuk pada saatnya bisa bertemu dengan Tuhannya. Kita hanya bisa berdoa, semoga Rendra bertemu dengan Sang Pemilik TITIPAN sejatimu di alam sana. Sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga untuk kita teladani. (ahmad suroso)

Tidak ada komentar: