Jumat, 28 Agustus 2009

Misteri Aliran Dana Terorisme

SUDAH hampir sepekan penyelidikan tim Densus 88 terhadap dugaan keterlibatan Ali Muhammad Bin Abdullah alias Ali Abdullah dalam pendanaan untuk pengeboman di Hotel JW Marriot-Ritz Carlton berlangsung, tetapi masih belum menemukan titik terang. Apakah pria asal Riyadh, Arab Saudi yang ditangkap tim Densus 88 Anti Teror Mabes Polri pada 17 Agustus lalu di wilayah Nagrek, Jawa Barat itu memfasilitasi pendanaan dari luar negeri untuk pengeboman tersebut atau tidak.

Sumber Tribun menjelaskan, beberapa bulan sebelum pengeboman di hotel JW Marriott-Ritz, Ali Abdullah pergi ke luar negeri bersama Syaifudin Zuhri, perekrut Dani yang dijadikan pengebom bunuh diri di hotel tersebut, dan seseorang yang belum diungkap namanya. Ali menginap bersama warga negara Yaman di Marriott kamar 1621 dan check out dari Hotel 17 Juli 2009 sebelum bom meledak. Ali juga tercatat beberapa kali melakukan kontak dengan penghuni kamar 1808, tempat Dani Dwi Permana menginap.

Tertangkapnya Ali semakin menguatkan dugaan adanya aliran dana dari luar negeri untuk aksi-aksi pengeboman di Indonesia, termasuk bom Marriot-Ritz Carlton. Seperti disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai beberapa aliran dana teroris di dalam negeri.

Transaksi-transaksi mencurigakan itu ditemukan di sepuluh kota pada belasan bank ternama yang mencapai 80 transaksi selama kurun 2004-2009, nilainya mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Sepuluh kota, tempat temuan transaksi mencurigakan itu antara lain Jogja, Makassar, Bekasi, Solo, Poso dan Jakarta.

Namun seperti diakui Ketua PPATK, Yunus, dan mantan Kepala Densus 88, Surya Dharma, tidak mudah untuk mengendus aliran dana terorisme. Karena para teroris memiliki pengetahuan memadai tentang sistem transaksi perbankan. Mereka tidak mau menggunakannya, karena mudah terdata. Mereka pakai sistem cash (tunai) dan carry (jinjing) oleh kurir yang sulit terdeteksi.

Sistem transfer mereka memakai mekanisme hawala, yakni pencairan uang tanpa melalui bank atau transaksi elektronik antarnegara. Teknisnya, misalnya A dari Pakistan hendak kirim uang ke B di Indonesia. Si A menggunakan jasa X di Pakistan, lalu si X menghubungi Y yang merupakan jaringannya di Indonesia. Si Y inilah yang memberikan uang kepada B. Utang piutang X dan Y diselesaikan belakangan.

Contohnya, pada aksi bom Marriot 2003, Hambali yang kini berada di penjara Guantanamo, Kuba, melalui Rusman, menghubungi Ammar Al Baluchi di Pakistan untuk memberikan US$ 50 ribu kepada Zubair --warga Malaysia yang ditangkap di Thailand dan kini di penjara Guantanamo, di Thailand. Dana itu diambil Zubair melalui jaringan Al-Baluchi di Bangkok. Dari Bangkok, uang dibawa secara tunai ke Indonesia via Malaysia. Info kucuran dana asing itu berasal dari acara pemeriksaan Ali Ghufron alias Muchlas dan Rusman Gunawan -- adik Hambali.

Mengingat pola-pola transaksi keuangan para teroris banyak dilakukan secara cash and carry, aparat keamanan mulai dari polisi, bea cukai, angkatan laut, pelabuhan di wilayah perbatasan, termasuk Provinsi Kepri harus lebih waspada dan ketat lagi menjaga jalur nonbank melalui akses transportasi laut dan darat.

Tetapi meskipun semua jalur laut dan darat nonbank tertutup rapat, kewaspadaan bank, penyedia jasa keuangan (PJK) lain seperti money changer, serta PPATK tak boleh lengah dan kendur dalam mengawasi dan menganalisis setiap transaksi keuangan yang mencurigakan. Diperlukan kerja sama dengan jararan Polri, khususnya Densus-88. Karena bukan tak mungkin mereka akan kembali menggunakan jalur perbankan untuk menjalankan aksinya. (*)
Tribun corner, 28 Agustus 2009

Tidak ada komentar: