MUSYAWARAH Nasional Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 2010 di hotel super mewah Ritz Carlton, Jakarta, 17-20 Juni menjadi momentum bersejarah. PKS secara formal bakal meninggalkan stigmatisasi sebagai partai kanan, eksklusif, dan Islam konservatif, setelah Munas II itu secara resmi mendeklarasikan PKS menjadi partai tengah dan terbuka dengan ideologi nasionalis-religius.
Keterbukaan ini seperti disampaikan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin di sela-sela Munas, seperti diberitakan koran ini kemarin termasuk bagi kalangan non muslim dan warga keturunan Tionghoa. Deklarasi sebagai partai tengah dan terbuka ini bukan sekadar strategi, tetapi merupakan pelaksanaan ajaran Islam. PKS menerima pluralitas sebagai ketentuan Tuhan bahwa tidak ada keseragaman tetapi keberagaman.
Hilmi menuturkan, eksklusivitas tidak mencerminkan ajaran Islam. Dan PKS sejak awal membuka diri dengan prinsip menjunjung pluralitas. Di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKS, tercantum syarat anggota adalah warga negara Indonesia. Kalaupun dulu tampak eksklusif, aku Hilmi, karena PKS sedang membentuk identitas diri.
Upaya PKS menjadi partai tengah, inklusif dan moderat memang masih butuh pengujian. Namun, kehendak dan upaya untuk menjadi partai tengah patut mendapat apresiasi. Setidaknya ini mendorong konsolidasi demokrasi yang berpegang teguh pada nasionalisme yang menghargai pluralitas kebangsaan.
Angin perubahan sedang melanda PKS untuk menghapus karakter sebagai partai eksklusif kelompok Islam. Lebih spesifik lagi dari Islam Tarbiyah, PKS bersiap membuka diri untuk menjadi rumah politik seluruh kelompok agama dan seluruh kekuatan politik Islam mulai dari yang tradisionalis, modernis dan bahkan fundamentalis. Dengan membuka diri, PKS seolah ingin menghapus kesan sebagai partai kelas menengah Islam perkotaan dan berpendidikan.
Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah angin perubahan ini menyentuh basis dasar partai. Juga mengubah karakter dasarnya sebagai representasi kekuatan politik Islam Tarbiyah, dengan mengakomodir pemikiran moderat yang dianut dua ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah. Lalu sanggupkah mendongkrak legitimasi politik sebagai partai berbasis massa lebih besar di putaran Pemilu 2014 mendatang?
Menurut para pengamat, upaya PKS untuk menjadi terbuka akan menghadapi tantangan. Sebab tidak mudah meyakinkan kader-kader PKS untuk terbuka terhadap nonmuslim karena sebagian besar mereka konservatif. Jangan-jangan hanya elit PKS di Jakarta yang utuh memaknai partai terbuka dan moderat. Sebab fakta di lapangan, kader PKS tak bisa dipisahkan dari idiom-idiom ke-Islaman.
Bahkan Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq sendiri mengakui, untuk kader dan elit di daerah, partai terbuka masih jauh api dari unggun. Karena kalau dibedah, aku Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, orang PKS itu bermacam-macam, mulai pengikut Umar Patek hingga Umar Wirahadikusumah.
Tantangan kedua, tak mudah mengubah citra PKS yang selama ini dinilai kurang ramah terhadap kalangan pemilih nonmuslim. Alih-alih dapat simpati pemilih nonmuslim, PKS juga terancam kehilangan dukungan dari basis massa ideologis PKS yang selama ini resisten terhadap ide-ide keterbukaan.
PKS dalam hal ini harus mempersiapkan diri atas potensi tarik ulur, bahkan konflik kepentingan yang pasti terjadi. Tapak-tapak institusional sebagai partai dengan karakter yang eksklusif, tidak mudah untuk tiba-tiba menjadi karakter inklusif hanya karena adanya keputusan Munas. Semua mengingat karakter ini berhubungan dengan mindset ideologis di dalam tubuh PKS.
Tidak mudah untuk mengubah stigma yang sudah terlanjur melekat ke PKS sebagai partai dengan karakter ideologis eksklusif yang melekat lebih dari 10 tahun. PKS dihadapkan pada dilema besar, yakni bagaimana memastikan lingkaran fundamentalnya tetap terjaga, sementara ekspansi keanggotannya juga berjalan. (*)
corner, 21 Juni
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar