PENGUSAHA di Batam kini dihadapkan pada situasi sulit. Pada saat mereka masih dipusingkan oleh dampak kenaikan tarif air bersih PT Adhya Tirta Batam rata-rata sebesar 18 persen sejak 1 Mei 2010, dan rencana kenaikan tarif listrik PT PLN Batam mulai Juli 2010 yang besaran prosentasenya masih dalam pembahasan, kini mereka kembali merasa resah.
Keresahan tersebut dipicu oleh rencana kenaikan pajak yang diajukan Pemko Batam yang didasari pada perubahan Perda mengenai pendapatan daerah berdasarkan UU No.28 Tahun 2009. Usulan kenaikan tersebut telah diajukan Pemko Batam melalui Dispenda ke DPRD kota Batam untuk dibahas dalam Rancangan Perda (Ranperda) 2011.
Mengacu pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Pemda dimungkinkan mengajukan kenaikan rencana pajak daerah (RPD) pada kisaran sampai maksimal 35 persen. Bahkan ada yang RPD sampai 75 persen. Yang membuat pengusaha keberatan, Pemko Batam berencana menaikkan pajak pada kisaran maksimal yang diperbolehkan, yakni rata-rata 35 persen.
Para pengusaha Batam yang tergabung dalam beberapa asosiasi pun menyampaikan uneg- unegnya kepada pers di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Selasa (8/6).
"Ini (kenaikan pajak sampai 35 persen-red) tidak masuk akal. Kalau Ranperda ini disahkan maka kita sepakat akan tutup usaha. Kita minta DPRD hentikan saja pembahasan Ranperda tentang pajak dan bubarkan saja Pansus, kami para pengusaha sepakat tidak akan menghadiri pembahasan tersebut. Kita juga akan segera menyampaikan surat keberatan pada Wako Batam, dan akan membuat pernyataan sikap, cetus Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri, Ir Cahya.
Apalagi, tambah Cahya yang juga bos pengembang PT Arsikon itu, pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Batam hanya 0-1 persen. Hal ini jauh di bawah pertumbuhan tahun 2008 yakni di atas 7 persen. Tiba-tiba disaat pertumbuhan ekonomi di kota ini belum pulih pemerintah malah berinisiatif menaikkan pajak-pajak daerah. Ini bukan saat yang tepat disaat TDL listrik dan air juga naik. Ini akan menimbulkan efek lebih luas di berbagai aspek.
Para pengusaha bisnis hiburan yang tergabung dalam Asosiasi Jasa Hiburan Barelang (AJHIB) juga mengaku terpukul dengan rencana kenaikan pajak tersebut. Menurut Ketua AJHIB, Gembira Ginting selama ini ada 160 badan usaha yang masuk asosiasi AJHIB.
Sejak tahun 2004, sekitar 60 persen dari anggota sudah mengeluh mengenai pajak hiburan yang besarnya 15 persen, bahkan berdampak total seperempat dari anggota sudah tutup total saat ini. Apalagi dengan pungutan 75 persen, ini sangat jauh melambung sekitar 400 persen dari pajak sebelumnya.
Sementara perwakilan dari Persatuan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI), Rina menuturkan, saat ini tingkat hunian hotel di Batam rata-rata hanya 50 persen. Ia menilai dengan rencana kenaikan pajak hiburan seperti diskotek, karaoke, klab malam, yang sudah jadi bagian dari fasilitas hotel, maka akan ada penurunan okupansi atau tingkat hunian hotel Karena tujuan orang menginap di hotel tidak hanya makan dan tidur, tetapi juga akan menikmati hiburan disana.
Karena itu, bila tidak ingin pengusaha di Batam limbung karena tercekik oleh rencana kenaikan pajak daerah tersebut, maka ada baiknya rencana kenaikan pajak tersebut ditinjau kembali. Surat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi No 188.34/17/SJ perihal Penataan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang ditujukan kepada para gubernur, bupati/walikota, tertanggal 5 Januari 2010 bisa dijadikan sebagai rujukan.
Di dalam surat mendagri antara lain mengingatkan Perda tentang PDRD yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, membuat ekonomi biaya tinggi, menghambat peningkatan iklim investasi di daerah serta materi muatannya tidak termasuksecara limitatif diatur dalam UU No 28 Tahun 2009 tentang PDRD segera dihentikan pelaksanaannya dan dicabut. (ahmad suroso)
Corner, 9 Juni
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar