POTENSI terjadinya tumpang-tindih kewenangan dan kekuasaan yang tak sejalan dengan konstitusi bakal muncul, menyusul wacana kontroversial dari DPR agar APBN 2011 mengalokasikan dana Rp 15 miliar per daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota dewan pada RAPBN 2011. Gagasan itu berawal dari Golkar. Namun tak semua fraksi setuju, salah satunya PKS yang menolak keras rencana bagi-bagi jatah Rp 15 miliar per dapil.
Permintaan itu disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR pekan lalu (25/5), dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas rencana kerja pemerintah dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2011. Dengan jumlah anggota DPR sekarang yang mencapai 560 orang, berarti dana APBN akan tersedot Rp8,4 triliun.
Menanggapi permintaan tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menolak. Alasannya, menurut Menkeu Agus saat rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (1/6) usulan tersebut tidak memenuhi prinsip ekualisasi dan keadilan, keseimbangan anggaran antardaerah, serta akan menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana karena ditentukan oleh anggota DPR, tidak oleh pemda.
Usulan tersebut juga melanggar sejumlah Undang-undang. Antara lain UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 32/2004 tentang Pemda, dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dan yang paling parah, bila setiap anggota DPR diberi anggaran Rp 15 miliar untuk pembangunan di dapilnya masing-masing, itu sama saja melanggar konstitusi. Karena dalam konstitusi jelas-jelas diatur DPR hanya punya tiga fungsi, yakni pengawasan, budgeting dan legislasi (membuat UU). DPR hanya berhak menyusun anggaran bersama pemerintah, bukan memakai anggaran.
Namun, penolakan Menkeu Agus Marto atas usulan dana Rp 15 miliar per dapil tak membuat pengusul gagasan itu menyerah. Fraksi Partai Golkar DPR kemarin tetap ngotot mengajukan anggaran pembangunan daerah Rp 15 miliar per dapil karena pemerintah dinilai gagal membangun daerah tertinggal.
Ketua Badan Anggaran DPR dari FPG Harry Azhar Azis berdalih realisasi anggaran yang sudah disahkan akan melibatkan pemerintah daerah. Anggaran akan diteruskan ke dinas terkait untuk proses pembangunannya. DPR hanya mencatat saja apa yang dibutuhkan rakyat kemudian disampaikan untuk dianggarkan. Kata Aziz, dana itu diperlukan karena selama ini pemerintah sering tidak menjalankan aspirasi yang dibawa setiap anggota DPR.
Satu hal yang pasti, dengan jatah Rp15 miliar itu, setiap anggota dewan otomatis memiliki uang yang banyak sekali untuk memelihara dukungan politik konstituennya secara gratis karena menggunakan uang negara.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudi seperti dikutip Bisnis Indonesia (2/6) menilai, usulan DPR ini berpotensi menyulut terjadinya penyalahgunaan wewenang secara personal, bukan lagi sistem. Sementara Ekonom Indef, Ikhsan Modjo menduga DPR tengah berupaya melegalkan praktik-praktik yang tak benar.
Memang sekilas alasan yang disampaikan Partai Golkar cukup baik. Tetapi tak sadarkah DPR, dengan memaksakan usulan tersebut, berarti DPR telah memberikan contoh buruk kepada publik sebagai pelanggar beberapa Undang-undang sekaligus yang telah mereka buat.
Penggunaan anggaran itu juga berpotensi menyuburkan praktik politik uang karena tak ada yang bisa menjamin anggaran itu dipakai sesuai peruntukannya, dan membuka kesempatan anggota dewan untuk menjadi makelar anggaran atas dana jatah Rp15 miliar itu.
Padahal, sudah berapa banyak anggota dewan yang dibui oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena membuka praktik sebagai calo anggaran? Mengapa mereka tidak mau belajar dari koleganya sesama anggota dewan yang sudah kesandung KPK? (*)
corner, 3 Juni 2010
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar