PERSOALAN Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama buruh migran yang mengais rezeki di luar negeri seperti tidak ada habisnya. Kasus yang menimpa para buruh migran di negeri jiran dari tahun ke tahun terus meningkat. Jutaan TKI yang sering disebut sebagai `pahlawan devisa' itu ternyata nasibnya tak seindah predikatnya. Mereka menjadi korban perdagangan manusia -- yang digolongkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai perbudakan moderen.
Seperti ditunjukkan dalam laporan tahunan yang disusun dan dirilis Departemen Luar Negeri Deplu Amerika Serikat (AS), Senin 14 Juni 2010 mengenai perdagangan manusia menyebutkan fakta yang mengejutkan bahwa 43 persen atau sekitar tiga juta warga Indonesia yang bekerja di mancanegara merupakan korban perbudakan modern (vivanews, 15/6).
Mengutip data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Migrant Care, tiap provinsi dari 33 provinsi di Indonesia merupakan tempat asal dan tujuan perdagangan manusia. Tempat asal yang paling signifikan adalah provinsi di Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.
Sebuah LSM terkemuka lain, yang tidak disebut namanya, menyebutkan bahwa jumlah perempuan pekerja domestik (pembantu rumah tangga) asal Indonesia di Timur Tengah yang mengalami perkosaan mengalami peningkatan. Sedangkan menurut IOM (International Organization for Migration), perusahaan perekrutan tenaga kerja, baik legal maupun ilegal, bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen perempuan pekerja Indonesia yang mengalami kondisi perdagangan manusia di negara tujuan.
Laporan tahunan ini kemudian menyoroti perusahaan penyalur tenaga kerja PJTKI, legal dan ilegal, yang membuat perempuan dan lelaki pekerja memiliki utang dan tercebur dalam situasi perdagangan manusia. "Penyalur tenaga kerja itu sering beroperasi di luar jalur hukum dengan kebebasan hukum, dan beberapa PJTKI memanfaatkan hubungan dengan pegawai pemerintahan atau kepolisian untuk menghindari hukuman," tulis laporan tersebut yang bisa diakses di laman Deplu AS.
Laporan tahunan yang dilansir Deplu AS tersebut semakin memperkuat fakta adanya ketidakadilan yang menimpa para TKI. Mereka berkontribusi besar pada pembangunan negara, tapi mereka tidak pernah menikmati hasilnya. Pengamat perburuhan Wahyu Susilo dalam wawancaranya dengan Perspektif, belum lama ini menyebutkan bahwa negara kita mendapat remiten dari TKI sebesar Rp 60 triliun per tahun, sementara alokasi untuk perlindungan TKI di APBN hanya Rp 25 miliar.
Fakta-fakta yang dilansir Deplu AS itu membuat kita semakin tercengang. Tindakan kekerasan yang terus menimpa para TKI disebabkan antara lain karena agen-agen yang nakal dan majikan yang tidak berperikemanusiaan. Arab Saudi adalah negara dengan peringkat tertinggi dengan kasus kekerasan terhadap TKI, hal ini disebabkan antara lain karena pekerja rumah tangga hanya dianggap sebagai properti belaka.
Kita juga perlu hati-hati terhadap para pelaku perdagangan manusia sekarang yang menggunakan beragam media jaringan sosial di internet untuk merekrut korban, terutama anak-anak, dengan tujuan menjebloskan mereka ke perdagangan seksual.
Untuk meminimalisir praktik-praktik perbudakan modern, maka diperlukan adanya reformasi sistem pengiriman tenaga kerja legal, terutama Undang-Undang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri tahun 2004. BNP2TKI juga diminta untuk mengurangi risiko perdagangan manusia yang dihadapi oleh para pekerja migran, menghukum agen-agen rekrutmen kriminal. Selain itu, pemerintah Indonesia juga diminta menyelesaikan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Malaysia dan negara-negara lain yang menjadi tujuan pekerja domestik Indonesia. (*)
corner, 16 Juni
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar