PEMERINTAH Indonesia berkomitmen untuk menghentikan sementara atau moratorium penerbitan izin untuk alih fungsi areal hutan alam dan lahan gambut selama dua tahun. Kebijakan pemerintah tersebut baru akan berlaku, efektif mulai 1 Januari 2011. Kebijakan ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan dana hibah 1 Miliar Dollar Amerika (sekitar Rp 9 triliun) dari pemerintah Norwegia, sebagai bagian dari kerjasama bilateral dengan Indonesia.
Poin ini tertuang dalam Letter of Intent (LoI) tentang pendanaan program kelestarian hutan yang diteken Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg di Oslo, Rabu (26/5) pekan lalu.
Sebagian besar kontribusi Norwegia dalam penandatanganan perjanjian pembentukan Kerjasama untuk REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) akan terkait dengan pengurangan emisi yang akan diverifikasi sejalan dengan rencana Indonesia untuk mengurani emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut.
Presiden Yudhoyono menyebutkan, pelaksanaan program kerjasama ini akan dikelola oleh satu Lembaga Baru, semacam otorita, yang dibentuk khusus dan melaporkan kinerjanya langsung kepada Presiden Indonesia. Lembaga baru ini juga akan mengkoordinasi upaya untuk mengembangkan dan menerapkan langkah-langkah REDD.
Pembentukan lembaga baru ini akan membantu mempercepat pergeseran paradigma dalam upaya Indonesia untuk mengelola sumber daya alam dan warisan yang berharga, dengan menggunakan cara yang bermanfaat baik secara lingkungan maupun biaya. Mengingat pentingnya manfaat dari program REDD agar dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan; struktur pemerintahan dari badan baru ini akan mencakup perwakilan dari pemerintah nasional dan lokal, masyarakat sipil, dan masyarakat lokal.
Indonesia juga akan mendirikan sebuah lembaga independen nasional untuk melakukan pengawasan, pelaporan dan verifikasi emisi dan pengurangan emisi. Upaya ini juga akan mencakup peningkatan penegakan hukum dan peraturan kehutanan yang ada, penciptaan database tanah terdegradasi serta meningkatkan proses terhadap kepemilikan lahan yang bebas konflik atas hak atas tanah dan klaim kompensasi.
Sebagus apapun kebijakan, tentu ada yang pro dan kontra. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nanang Rofangi justru mendukung moratorium lahan sawit. Alasannya, kebun sawit yang kini mencapai 7,5 hektare sudah mencukupi prmintaan dalam negeri dan luar negeri.
Sebaliknya Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia Fadhil Hasan, moratorium izin baru ini pasti akan merugikan pengusaha sawit, pengusaha tambang batubara. Karena mereka tak akan bisa lagi ekspansi dengan mengonversi hutan alam dan lahan gambut menjadi kebun sawit, dan tambang batubara. (Kontan, 31/5). Akibat langsung, tenaga kerja yang terserap di sektor ini makin sedikit. Selain itu karena tak bisa ekspansi perkebunan sawit bakal memicu harga CPO (crude palm oil) naik dan pengembangan energi terbarukan biofuel tersendat.
Namun bila melihat fakta, kondisi hutan Indonesia yang semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu, maka kita sepatutnya mendukung kebijakan moratorium ini. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan, laju kerusakan hutan rata-rata per tahun adalah 1,09 juta ha. Sedangkan lembaga TELAPAK/EIA mengklaim, angka 2,8 juta ha hutan Indonesia rusak setiap tahunnya. Penyebab klasik berkurangnya luas tutupan hutan adalah kejahatan kehutanan, antara penyelenggara negara dan pihak pengusaha.
Untuk mencegah munculnya keresahan di kalangan pengusaha yang berkaitan dengan hutan dan penafsiran yang keliru dalam mengeimplementasikan kebijakan ini, pemerintah perlu segera menggelar sosialisasi secara terus menerus untuk menjelaskan secara detail mengenai kebijakan baru tersebut. (*)
Corner, 1 Juni 2010
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Sukses Selalu untuk Pak Ahmad
Posting Komentar