Selasa, 27 Mei 2008

Fam Trip Journalist 2008 Yogyakarta (1)



Sebagian rombongan Fam Trip Journalist 2008 Yogyakarta yang berasal dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand

Abdi Dalem Hanya Bergaji Rp 9 Ribu
Tak terasa, besok, Selasa 27 Mei 2008 tepat dua tahun gempa bumi dahsyat berkuatan 5,9 SR memporakporandakan Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan ribun bangunan luluhlantak dan sekitar 5000 orang tewas. Bagaimana Yogyakarta saat ini? Simak laporan wartawan Tribun Batam, Ahmad Suroso dari kegiatan Fam Trip Journalist 2008 yang diadakan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Deparsenibud) Kota Yogyakarta, 18-21 Mei 2008.

SEBANYAK 14 wartawan dari 4 negara ASEAN, termasuk Tribun melihat dengan nyata perbedaan suasana saat Yogyakarta dilanda gempa dan saat ini. "Dua tahun lalu saat gempa melanda Yogya, saya datang meliput ke sini. Sekarang rumahnya sudah bagus-bagus ya. Sejak gempa saya sudah empat kali ke Yogya," cetus Tamrin Yousof, wartawan Kantor Berita Bernama Malaysia saat meninjau Museum Batik Imogiri Bantul. "Saat gempa dulu saya juga seminggu di Yogya meliput," timpal Sopha Sulaiman, wartawan media Utusan Melayu Malaysia.
Kasi Kerja Sama dan Pemasaran Pariwisata Diparsenibud Kota Yogyakarta, Yetti Martanti mengatakan, wartawan yang menjadi peserta di kegiatan ini yakni dari harian The Strait Times Singapura, Kantor Berita Bernama Malaysia, Utusan Melayu Malaysia, Metro Malaysia, National Geographic Singapura, tabloid ASEAN Affairs Thailand, TV 3 Malaysia, Harian Pikiran Rakyat, Tribun Kaltim, Tribun Batam, Majalah Garuda Indonesia, Majalah Jakarta Java Kini, dan Majalah Helo Bali.
Dalam kunjungan ke obyek wisata dan sentra kerajinan di Yogyakarta, rombongan didampingi para Diajeng/Dimas Yogyakarta, tour guide dan panitia. Sedangkan tujuan dari Fam Trip Journalist 2008, kata Kepala Dinas Pariwisata Yogyakarta, Drs Hadi Muhtar MM dimaksudkan untuk menjalin kerja sama media di wilayah Indonesia dan ASEAN dan memperkenalkan Yogyakarta ke daerah atau negara tetangga.
"Dengan Fam Trip ini para wartawan diharapkan dapat menulis kepariwisataan Yogyakarta, sehingga dapat lebih meningkatkan kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Kegiatan ini juga sebagai wujud dukungan Diparsenibud Kota Yogyakarta terhadap program Visit Indonesia Year 20098," ungkap Hadi Muhtar.
Wakil Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti saat menerima rombongan fam trip dalam acara Gala Diner di Hotrel Santika Yogyakarta, Selasa (20/5) mengatakan, melalui kegiatan Fam Trip Journalist diharapkan wartawan bisa langsung merasakan pengalaman empirik.
"Termasuk bisa berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta yang kental nuansa etniknya. Sehingga bisa menceriterakan kepada masyarakat di Negara masing-masing, agar masyarakatnya tertarik berkunjung menikmati berbagai obyek wisata di Yogyakarta," katanya.
Hari pertama, peserta diajak mengunjungi kawasan yang kaya dengan peninggalan bersejarah, candi hindu Ratu Boko yang berasal dari Mataram kuno, dan malamnya menyaksikan sendratari Ramayana di Candi Prambanan.
Hari kedua, setelah makan siang di rumah makan Bale Raos, Magangan Kraton Yogyakarta, malamnya peserta ke Candi Borobudur menyaksikan perayaan hari suci umat Buddha, Waisak 2552/2008. Di pelataran candi Borobudur rombongan bisa menyaksikan panorama eksotis salah satu dari tujuh bangunan keajaiban dunia itu dimalam hari yang diterangi Bulan Purnama.
Hadi Yasin, Ketua Panitia Puja Bakti Waisak 2552 dari Konferensi Agung Sangha Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, dilaksanakan pembacaan doa, puja-puja selama 24 jam nonstop yang dimulai dari pukul 14.00 (Senin, 19 Mei) sampai keesokan harinya.
Selanjutnya mulai pukul 5 pagi (Selasa,20/5) para biksu beserta sekitar 30 ribu umat Buddha melakukan puja paradaksina atau berjalan tiga langkah diikuti sujud satu kali kepada Buddha, Dhamma dan Sangha mengelilingi candi terbesar di dunia yang dibangun abad ke delapan dari arah sisi timur.
"Bisa bersembahyang bersama-sama puluhan ribu umat Buddha dari berbagai daerah dan luar negeri di Candi Borobudur selama 24 jam nonstop itu satu kebahagiaan tersendiri ," ujar Hadi Yasin.
Berwisata ke Yogya belumlah lengkap bila belum melihat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, komplek Raja Sri Sultan Hamengku Buwono ke X. Kraton telah menjadi ikon salah satu obyek wisata penting di Yogyakarta, selain Malioboro, Prambanan, Kaliurang, dan Parangtritis.
Disebut Kasultanan karena raja yang memerintah di kraton tersebut bergelar Sultan, sebagai bentuk pengaruh masuknya Kerajaan Mataram sebagai Kerajaan Islam sejak zaman Panembahan Senopati yang menurunkan raja-raja Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Solo, dan Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta.
Selain sebagai cagar budaya, kraton Yogya yang berdiri tahun 1755 Masehi juga menjadi pusat pelestarian budaya Jawa. Di saat dunia luar semakin toleran dengan perubahan, kraton menjadi satu-satunya tempat di mana budaya Jawa mencoba bertahan semampunya.
Sebagai tempat wisata, kraton terbuka untuk umum. Namun tentu saja masoih ada bagian-bagian di dalam kompleks kraton yang tidak boleh dikunjungi, antara lain tempat penyimpanan pusaka, Gedong Jene yang dulunya menjadi tempat kerja alm Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Pada saat gempa dua tahun lalu, menurut Kurator Museum Kraton,. Raden Rio Budyopustoko, beberapa bangunan di kraton roboh, antara lain gedung museum Trajumas tempat menyimpan pusaka-pusaka Kraton. "Saat itu koleksinya banyak yang hancur, termasuk Tandu Lawah peninggalan Sri Sultan HB I, tapi alhamdulillah sebagian sudah bisa diperbaiki kembali," ujar R Rio.
Wisata ke kraton dimulai dari arah utyara melalui pintu gerbang belakang Pagelaran. Saat rombongan Fam Trip memasuki pintu gerbang, terdengar suara klenengan gamelan ditabuh oleh para pengrawit mengalun mengiringi tiga sinden dari arah bangunan berbentuk joglo di sisi barat. Nada suaranya ngelangut menerbitkan romantisme, terbang ke tengah kehidupan masa lalu yang tentram dan ayem.
Di dalam komplek, pengunjung akan disuguhi berbagai benda warisan sejarah milik kraton Mataram. Selain itu juga bisa melihat kehidupan sehari-hari di kraton dengan seluruh abdi dalam, prajurit dan embannya yang sangat bersahaja.
Ngarso dalem
Mereka mengabdi sepenuh hati kepada Rajanya, Sri Sultan yang mereka sebut sebagai Ngarso Dalem, bukan karena mengharap imbalan materi, tetapi lebih karena ingin mendapatkan berkah, dan ketentraman hidup.dari pengabdiannya.
Bayangkan! Para abdi dalem itu rata-rata mendapatkan uang gaji dari Kraton hanya berkisar Rp 5000 sampai Rp 10.000 sebulan. Seperti Mbah Maridjan yang kini namanya kondang di tanah air setelah dikontrak menjadi bintang iklan produk jamu Sido Muncul. Mbah Maridjan sebagai abdi dalem kraton Yogya yang menjadi juru kunci Gunung Merapi, ia tidak pernah mempersoalkan gaji yang diterima dari Kraton yang hanya Rp 5600 sebulan.
Abdi dalem Kraton, Ki Lurah Mangkuprayitno (50) yang tengah bertugas jaga duduk bersila beralas pasir di depan museum kraton mengaku dapat gaji Rp 7000 setiap bulan. Para abdi dalem kraton itu mengistilahkan upah tiap bulan yang mereka terima bukan gaji, tapi kekocah, yakni sebagian uang Sultan untuk para abdi dalem atas jasanya mengabdi.
"Sebetulnya saya mendapat kekocah dari Ngarso Dalem setiap bulan Rp 9.000, tapi yang Rp 2.000 untuk rukunan abdi dalem," ucap Ki Lurah Mangkuprayitno yang mengaku sebagai abdi dalem ia merasakan perasaan senang, dan tentram.
Mendapat penjelasan soal besaran gaji abdi dalem tersebut, rombongan wartawan dari luar negeri hanya terheran-heran sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak percaya.
Bagaimana mereka bisa hidup hanya dengan gaji Rp 7.000. Ternyata untuk menghidupi istri dan seorang anaknya, Ki Lurah mengaku di rumahnya punya usaha ternak 1 ekor sapi dan 7 ekor kambing. Di Kraton para abdi dalem tidak perlu lagi mikir jajan untuk makan, karena untuk makan sehari sudah disediakan kraton.
Hal senada disampaikan Ki Jajar Mangkutiyanto (45) yang duduk berjaga di sebelah Ki Lurah. Sebulan ia mendapat uang gaji Rp 6.000 atau setara dengan harga satu liter bensin sekarang.
"Alhamdulillah, meskipun kekocah saya cuma Rp 6.000 sebulan cukup untuk hidup. Kalau ada kebutuhan mendesak ada saja rezeki. Saya sekeluarga juga merasa mendapat berkah Pangeran dari pengabdian saya di kraton," ungkap penduduk Kecamatan Minggir Sleman yang setiap hari harus naik sepeda ontel dari rumahnya menempuh jarak sekitar 25 km untuk sampai ke Kraton Yogya. Ia biasa masuk kerja jam 8 pagi dan pulang jam 8 pagi hari berikutnya..(ahmad suroso)
Dimuat Tribun Batam edisi Senin, 26 Mei 2008

Tidak ada komentar: