Jumat, 30 Mei 2008

Eksotisme Borobudur di Malam Waisak 2552



SUASANA magis bercampur merinding membayangkan kehidupan di zaman batu saat memandang stupa candi Borobudur di kegelapan seperti menyergap pikiran dan jiwa takkala aku bersama sekitar 25 anggota rombongan Fam Trip Journalist 2008 Yogyakarta memasuki lapangan Gunadharma di sisi timur Candi Borobudur, pukul 19.30 WIB, Senin malam, 19 Mei Mei 2008 lalu.
Cukup banyak ornamen untuk persembahyangan menghiasi area seputar candi untuk keperluan pembacaan doa dan puja-puja. Sayang rombongan tidak bisa memasuki bangunan utama candi, karena selain faktor keamanan memang ada sebuah imbauan untuk menjaga ketenangan dan kekhusyukan umat Buddha. Ini membuat wartawan asal negara jiran sedikit kecewa.

Selain faktor latar belakang Candi Borobudur yang mistis diterangi oleh cahaya Bulan Purnama, dan sorot lampu 10.000 watt menerangi lapangan Gunadharma, gaung suara para biksu bersama sekelompok kecil umat Buddha yang memanjatkan doa, puja-puja dalam bahasa Tibet, negara tempat lahir Sang Buddha Gautama pada tahun 623 Sebelum Masehi, yang berkumandang dari soundsystem berkuatan 15.000 watt membuat aku merasakan nuansa mistis, seakan berada di alam lain.

Yah, malam itu suasana kompleks candi terbesar di dunia itu berbeda dengan biasanya. Karena seperti dijelaskan Ketua Panitia Puja Bakti Hari Raya Waisak 2552, Hadi Yasin kepada penulis, untuk pertama kalinya dalam sejarah di Candi Borobudur dilaksanakan pembacaan doa, puja-puja selama 24 jam nonstop mulai pukul 14.00 Senin (19/5) sampai pukul 14 keesokan harinya. Pada perayaan Waisak tahun-tahun sebelumnya, pembacaan doa hanya dilakukan di Candi Mendut.

Meskipun berada dalam kegelapan, hanya diterangi cahaya Bulan Purnama, Borobudur malam itu tetap terlihat sangat indah, cantik dan sangat kokoh dan perkasa. Sesekali terlihat bintang komet jatuh dari langit. Sesuatu yang luar biasa, mempunyai nilai spiritualitas yang tinggi dan baik dari ukuran, bentuk mau pun keberadaannya.

Tak habis-habisnya aku merasakan kekaguman atas karya spektakuler nenek moyang bangsa Indonesia abad ke VIII Masehi di zaman Syailendra. Sementara manusia selalu berubah, peradaban kadang terkoyak oleh bencana yang membuat semua kehidupan dan alam berubah, tapi Borobudur tetap kokoh.

Inilah pengalaman yang aku rasakan paling berkesan selama tiga hari (19-21 Mei 2008 lalu) mengikuti program Fam Trip Journalist 2008 bersama 13 wartawan dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand mengunjungi tempat-tempat wisata di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti yang sudah aku tulis di harian Tribun Batam edisi 26-28 Mei 2008 dan aku posting di blogku ini. (Ahmad Suroso)

Tidak ada komentar: