Selasa, 07 April 2009

Berakhirnya Era Kerahasiaan Bank

Era kerahasiaan bank dan surga bebas pajak telah berakhir. Kematiannya diumumkan di London oleh pemimpin negara-negara yang tergabung dalam kelompok 20 (G20), termasuk Indonesia, negara-negara Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Masa kerahasiaan perbankan telah usai, ungkap Sekretaris Menteri Keuangan Inggris Stephen Timms yang ikut merancang komunike bersama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 di London, Inggris, Jumat (3/3).
Pernyataan Timms seperti dilansir Inilah.com itu merujuk kepada keinginan anggota Kelompok 20 untuk mengawasi pelarian dana ke sejumlah tempat di berbagai negara yang pemiliknya tak bisa diketahui karena terikat pada peraturan kerahasiaan perbankan di tempat tersebut. Karena informasinya tertutup rapat, maka dana-dana itu tentu saja bebas pajak.
Kelompok 20 yang output ekonominya menguasai hampir 90% output ekonomi dunia itu segera mengumumkan tempat-tempat atau negara-negara yang masih memberlakukan surga pajak seperti itu. Tapi di kalangan industri keuangan dunia, tempat-tempat itu sebenarnya bukan rahasia. Sejumlah negara Skandinavia atau di kawasan Pasifik masih mengandalkan dana-dana kotor dari korupsi, dan hasil kejahatan narkotika serta perdagangan manusia, misalnya, masih menjadi tempat yang aman untuk pencucian uang dan perlindungan pajak.
Dengan dihapuskannya kerahasiaan perbankan, maka tak lama lagi, surga bagi perlindungan pajak dan pencucian dana haram itu akan tamat riwayatnya. Tak ada lagi tempat yang aman dan rahasia bagi uang-uang yang bisa menghancurkan perekonomian dalam seketika.
Uni Eropa melihat apa yang terjadi di dunia keuangan saat ini adalah akibat pengelola dana dalam jumlah besar itu yang terlalu bebas tanpa kendali. Kemudian mengaktualisasikan keserakahan manusia dalam bentuknya yang paling primitif. Tuduhan itu bukan tanpa dasar. Kekacauan moneter di 1998 bermula dari kejatuhan mata uang Thailand yang diakibatkan spekulasi besar-besaran para pengelola dana lindung nilai itu.
Kita patut memberikan apresiasi terhadap satu diantara keputusan pertemuan puncak pemimpin negara-negara G20 tersebut. Karena dengan dihapuskannya kerahasiaan bank, maka pemerintah Indonesia dan pemerintah negara lainnya akan bisa melacak kejahatan pelarian dana dalam jumlah besar lintas negara yang pemiliknya tidak bisa diketahui, dikenal dengan istilah pencucian uang atau money laundering.
Seperti diketahui, kejahatan pencucian uang semakin marak di dunia internasional. Pihak-pihak tertentu seperti organisasi kejahatan turut menikmati keuntungan dari lalu lintas pencucian uang tanpa menyadari kerugian yang ditimbulkan, termasuk didalamnya para koruptor pengemplang dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kini kabur dan hidup nyaman di luar negeri bersama uang 'jarahannya' yang disimpan di bank-bank di negara-negara tertentu.. Uang mereka tak bisa diusik-usik, karena terbentur aturan kerahasiaan perbankan.
Rumusan makna pencucian uang itu sendiri beragam. Pada dasarnya makna pencucian uang adalah suatu proses pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan dan dicuci melalui suatu lembaga keuangan atau penyedia jasa keuangan, sehingga uang haram tersebut dapat tampil sebagai uang yang sah atau halal.
Dengan adanya keputusan dari kelompok 20 tersebut, otomatis Indonesia ikut terikat dengan keputusan tersebut. Indonesia harus segera menindaklanjuti hasil pertemuan G20 dengan merevisi
terhadap UU Nomor 25 Tahun 2003 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, karena dipandang belum memenuhi prinsip internasional. Selama ini dengan berlindung dibalik ketentuan kerahasiaan bank, pihak perbankan sebenarnya turut andil dalam tindak pidana pencucian uang tersebut. Kerahasiaan bank, kerahasiaan finansial secara pribadi, dan efesiensi transaksi merupakan tiga permasalahan yang harus diatasi bila ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. (ahmad suroso)

Tajuk Tribun Batam, 4 April 2009

Tidak ada komentar: