MESKI sudah ada peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang pedoman teknis tata cara pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu legislatif, terutama terkait dengan penandaan surat suara, namun tetap saja KPU masih belum bisa bersikap tegas. Yang terjadi KPU justru seperti kebingungan sendiri, akibat terlalu banyak mengakomodir masukan-masukan yang muncul saat melakukan sosialisasi pemungutan suara dengan cara centang atau mencontreng (V) satu kali pada kolom nama partai atau kolom nama caleg atau kolom nomor caleg.
Kini, untuk yang kesekian kalinya KPU kembali merubah aturan main penandaan surat suara, seperti disampaikan anggota KPU, Andi Nurpati saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (2/2). Kalau sebelumnya mencoblos dinyatakan sah bila mencentang satu kali, kemudian diubah menjadi dua kali, KPU berencana merevisi lagi. Dalam aturan baru tersebut, KPU membolehkan pemilih mencentang (V), memberi tanda silang (X), mencoblos, atau dengan garis datar/strip (-). Keempatnya menjadi bagian sah dalam bangunan keabsahan surat suara.
Revisi UU No 35 itu untuk mengantisipasi kemungkinan para pemilih memberikan hak suara yang berbeda-beda. Sebab dalam simulasi pemungutan surat suara yang dilaksanakan KPU banyak didapatkan pemilih yang menggunakan tanda selain centang yakni silang dan garis datar. Hasil simulasi ini jadi pertimbangan KPU untuk merevisi pengaturan tentang penandaan. Namun, KPU tetap akan mensosialisasikan pada masyarakat cara mencontreng.
Di sisi lain KPU hingga kini masih menunggu Perpu yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, tentang penandaan 2 kali sebagai konsekuensi keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Artinya, kalau pemilihan dilakukan dengan menandai satu kali, dengan putusan MK itu, berarti agar suara dianggap sah, pemilih harus mencentang nama caleg. Sehingga harus dilakukan centang dua kali, di lambang partai politik dan nama caleg.
Rencana KPU menerapkan keempat cara penandaan keabsahan suara ini mendapat tentangan dari mantan Ketua Pansus RUU Pemilu legislatif dan RUU Pilpres, Ferry Mursidan Baldan. Ferry meminta KPU sebagai penyelenggara Pemilu merujuk pada UU semula saja. Jangan karena beberapa sosialisasi yang dilakukan kemudian ingin ada perubahan-perubahan lagi. Sekarang ini semuanya sudah harus final, karena kalau dirubah hanya membuat pemilu hiruk pikuk dengan menjadikan centang bukan satu-satunya tanda (suara sah).
Sikap KPU yang tidak tegas ini patut disayangkan. KPU pada awalnya terus-menerus mensosialisasikan penandaan satu kali pada surat suara, kemudian memutuskan penandaan dua kali, kali ini merevisi kembali dengan mensahkan penandaan surat suara sah, dengan cara mencoblos, mencentang, menyilang, atau memberi strip.
Ketidaksiapan KPU dengan aturan yang baku dan pasti tentu semakin membingungkan parpol. Bila KPU tidak segera menetapkan aturan yang baku dan terus menerus merubah aturan yang sudah diatur dalam UU maupun keputusan MK, dikhawatirkan akan memicu konflik internal dalam parpol, maupun antarparpol peserta pemilu.
Seharusnya, mengingat pelaksanaan pemilu legislatif 2009 tinggal 68 hari lagi, persoalan sistem pemberian suara ini semestinya sudah selesai, karena harus ada sosialisasi. Tetapi yang terjadi, KPU justru masih sibuk mencari rumusan penetapan sahnya suara dengan harapan bisa memuaskan semua pihak, kenyataannya justru semakin membingungkan parpol dan masyarakat. Situasi ini sesungguhnya hanya menunjukkan betapa sistem dibuat sedemikian rupa, bukan untuk memudahkan pemilih, tapi lebih kepada kepentingan para peserta, terutama yang memiliki kuasa untuk itu. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 3 Februari 2009
Sabtu, 07 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar