SAYA itu nelangsa kalau mikir nasib Batam sekarang. Bagi pengusaha, daerah Free Trade Zone (FTZ) artinya ada kemudahan-kemudahan. Tetapi dalam prakteknya, meskipun sekarang sudah ada PP (Peraturan Pemerintah) No 2 tahun 2009 sebagai pengganti PP No 63/2003, sampai sekarang kita hanya bisa bersilat lidah. Tadi Pak Edi (Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, red) bilang sementara belum ada juklaknya, yang berlaku peraturan sebelumnya. Jadi nasib FTZ Batam itu ibarat orang berumah tangga, setelah dinikahi langsung ditinggal kabur suami.
Pernyataan bernada keluhan dan sindiran yang diungkapkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Batam , Nada Faza Soraya di depan peserta forum seminar Peran Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun (FTZ BBK) dalam Mengatasi Dampak Krisis Global di Indonesia, Selasa (10/2) di Hotel Novotel Batam itu cukup mewakili suara keprihatinan yang sekarang dirasakan oleh masyarakat, khususnya para pengusaha Batam menanggapi berlarut-larutnya implementasi pelaksanaan FTZ BBK.
Apa yang disampaikan Nada Soraya yang mempunyai bisnis di bidang perkapalan itu cukup beralasan. Karena meskipun Presiden Susila Bambang Yudhoyono sudah meresmikan penerapan FTZ BBK sekaligus menandatangani PP No 2 Tahun 2009 pada 19 Januari 2009 lalu faktanya sampai sekarang masih terjadi kevakuman dalam menggerakan roda FTZ. Belum ada sinkronisasi antarinstansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur soal FTZ BBK, termasuk PP No 2/2009.
Angin surga yang dibawa oleh FTZ BBK yakni akan adanya kemudahan-kemudahan bagi pengusaha sampai hari ini belum dirasakan. Tidak ada perdagangan bebas seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Bahkan seperti diberitakan kemarin, Batam sampai mengalami kelangkaan berbagai produk makanan miniman impor yang selama ini dinikmati masyarakat, karena terganjal oleh aturan yang belum keluar.
Padahal seperti disampaikan Jon Arizal selaku Sekretaris DK FTZ usai rapat koordinasi bersama Badan Pengusahaan Kawasan Bintan akhir Januari 2009 lalu yang juga dihadiri pihak Bea Cukai, sudah ditekankan, selama masa transisi menunggu juklak terbit, semua pihak diminta jangan terlalu berlebihan mengambil tindakan. Begitu juga dengan Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBK mengingatkan semua pihak untuk tidak menghambat pelaksanaan BBK, untuk tidak mempersulit sesuatu yang mudah.
Tetapi dalam seminar kemarin, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edi Abdurrahman mengatakan, karena belum ada Juklak pasca keluarnya PP No 2/2009 maka untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum, yang berlaku peraturan sebelumnya. Ini bisa diartikan PP No 63/2003 sementara masih berlaku. Ini artinya, Sekretaris Menko Perekomian tidak mendukung Presiden. Tak heran bila para peserta seminar kemarin yang sebagian besar para pengusaha UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) mengaku bingung dengan sikap pemerintah yang tidak sejalan tersebut.
Untuk mengatasi kebuntuan dan ketidakpastian peraturan tersebut, maka pemerintah, khususnya semua instansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dan BPK harus bertemu mencari solusi atas masalah tersebut. Menteri Keuangan juga harus segera mengeluarkan petunjuk pelaksanaan FTZ BBK. Jangan biarkan pengusaha nasibnya seperti anak ayam kehilangan induknya. Perintah Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBM, sebulan setelah PP No 2 Tahun 2009 ditandatangani Presiden harus sudah terimplementasi. Artinya 19 Februari 2009 mendatang, FTZ BBK harus sudah terimplementasi. Semoga. (ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, 11 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar