PEMERINTAH Singapura membatalkan secara sepihak Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA), dan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia-Singapura yang diteken pada 27 April 2007. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di Jakarta, Kamis (19/3), Singapura tidak mau meloloskan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dengan alasan ingin melindungi para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bersembunyi di negara itu setelah kabur dari Indonesia.
Singapura memang tidak secara langsung menyebut BLBI sebagai alasan diputuskan kesepakatan itu. Namun untuk menjegal ekstradisi mereka membuat persyaratan ekstra berat yang sulit untuk bisa dipenuhi Indonesia. Singapura tidak mau meloloskan ekstradisi karena mereka mau mengurusi (melindungi) uang BLBI yang lari pada tahun 1997-2001 yang diuber Indonesia.
Keputusan sepihak negeri jiran tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Meskipun sejarah lahirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura sampai disepakati dan diteken pada tahun 2007 setelah melalui proses 30 tahun. Keputusan pemerintah negeri merlion tersebut semakin menunjukkan sikap Singapura yang selama ini setengah hati untuk mengimplementasikan kesepakatan perjanjian ekstradisi.
Mengingat Singapura selama ini menjadi surga bagi koruptor Indonesia. Ada belasan koruptor sembunyi di Singapura, dengan total aset yang dilarikan diduga mencapai ratusan juta dollar AS. Bila mereka sampai diekstradisi dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan perekonomian Singapura.
Jadi bagaimana kita harus menyikapinya? Menghadapi kasus ini Indonesia harus bersikap tegas. Indonesia memiliki kesempatan untuk mengkritik Singapura atas alasan yang dipakai untuk menghentikan DCA. Apa hubungannya BLBI dengan DCA. Jika tidak, negara lain akan bertanya-tanya kenapa Singapura sampai memutus kesepakatan. Dan itu bisa bikin citra Indonesia jelek, karena itu kita harus tunjukkan diplomasi ke dunia bahwa keputusan sepihak itu bukan kesalahan Indonesia.
Ada juga yang berpandangan keputusan Singapura mengakhiri kesepakatan justru menguntungkan Indonesia. Sebab dengan adanya perjanjian ekstradisi yang mensyaratkan, sebagai imbalannya Singapura mendapat hak menggunakan wilayah Republik Indonesia untuk latihan perang, sebenarnya merugikan Indonesia.
Sejumlah kalangan menilai perjanjian pertahanan ini mencederai kedaulatan negara. Karena Singapura diberi hak berlatih perang di wilayah Indonesia. Luas Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Singapura, tentu tidak seimbang dengan kesempatan sama yang diberikan bagi pemerintah untuk melaksanakan latihan perang di Singapura. Apalagi Singapura boleh mengajak pihak ketiga dalam latihan perang.
Jika memang mengganggu kedaulatan, seberapa layakkah para koruptor tersebut ditukar dengan kedaulatan? Selain diliputi polemik tentang kedaulatan Negara, isi perjanjian tersebut cenderung menguntungkan Singapura. Karena, dalam perjanjian pertahanan Singapura bisa langsung menggunakan haknya begitu perjanjian ini diratifikasi, tetapi Indonesia harus melalui proses persidangan dahulu sebelum bisa memanggil koruptor-koruptor yang mukim di Singapura. Ini terkait dengan sistem Singapura yang menganut hukum Anglo-Saxon, tempat pemulangan pelaku kejahatan harus melalui proses peradilan terlebih dulu. Pengembalian aset secara otomatis akan dibicarakan kemudian.
Jadi yang perlu dipikirkan cari hukum internasional lain yang bisa memungkinkan Indonesia menjerat para koruptor yang bersembunyi di luar negeri, misalnya menggunakan hukum PBB. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Jumat, 20 Maret 2009
Sabtu, 21 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar