Rabu, 11 Maret 2009

Legislatif Bukan Sumber Nafkah

SEKITAR 200 pendukung Abdul Hadi Djamal (AHD) di Makassar menggelar doa bersama bagi tersangka penerima suap dari rekanan dan pegawai Dephub senilai lebih dari Rp 1,8 miliar belum lama ini. Sebelumnya sebagian warga Sulsel di Makassar itu marah kepada Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir gara-gara memecat AHD dari PAN yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Rakyat mungkin bingung, mengapa tersangka pelaku korupsi bernilai miliaran masih dibela mati-matian, dan ketua umum partainya yang memecat AHD karena PAN ingin menegakkan hukum dan berkomitmen serius memberantas korupsi malah dicaci maki. Padahal seharusnya langkah KPK dan petinggi PAN itu mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian temannya di DPR ada yang nyeletuk apa yang dialami AHD bukanlah aib besar, tetapi hanya nasibnya yang lagi apes.

Adanya dukungan kepada anggota Komisi V DPR, AHD dan anggapan apa yang dialaminya hanya nasib apes, dan bukan kejahatan, menurut sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Tamrin Amal Tomagola di Jakarta Senin (Kompas, 9/3), menunjukkan bahwa menjadi anggota legislatif masih lebih ditujukan untuk mencari nafkah, dan bukan hanya wakil rakyat dengan standar moral tertentu.

Ini menjadi salah satu masalah pelik dalam demokratisasi di Indonesia. Status AHD sebagai anggota
DPR tak hanya menjadi sumber nafkah bagi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi lumbung pendapatan pihak lain yang masuk dalam jaringan kekerabatan atau kepentingannya. Karena yang dialami AHD juga akan merusak nafkah jaringannya sehingga mereka ikut kecewa.

Kuatnya pandangan menjadi anggota legislatif untuk mencari nafkah, terutama terjadi karena demokratisasi di Indonesia berjalan dalam kondisi tidak ideal, yaitu di tengah banyaknya pencari kerja dan lebarnya jurang penduduk kaya dan miskin. Karena itu, tak heran meskipun sudah tidak terhitung lagi anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi dan dibui, sepertinya tidak menimbulkan efek jera. Praktek-praktek suap-menyuap, korupsi anggota legislatif yang berhasil dibongkar KPK masih terus muncul ke permukaan.

Penyebabnya, karena legislatif hanya menjadi sumber nafkah dan juga lumbung pendapatan, termasuk bagi partainya. Kondisi ini diperparah lagi dengan kenyataan banyak warga yang beranggapan, pemilu merupakan saat bagi mereka mendapatkan uang atau barang dari politisi atau parpol. Pengalaman yang disampaikan wakil rakyat, Angelina Sondakh saat menjadi pembicara sebuah seminar di Universitas Paramadina Desember 2008 lalu menjadi contoh konkret.

Angie -begitu biasa dia disapa- menyampaikan pengalamannya saat kampanye di sebuah desa. Waktu itu, ada seseorang yang dengan lantang mempertanyakan apa yang telah diperbuat Angelina Sondakh. ”Saya punya mushala belum rampung, terus lebaran haji kita mau potong kambing. Trus, ini proposal jembatan piye. Trus, di sini air bersih enggak ada,“ begitu keluh kesah orang itu.

Terus Angie jawab, ”Saya mengalami kesulitan untuk memenuhi semua itu. Saya juga enggak mau ditangkap KPK. Saya ini enggak punya duit banyak. Gini aja pak. Saya balik bertanya kepada bapak. Bapak punya anak kan. Tiba-tiba anak bapak itu datang. Ayah! saya mau beli sepeda, mau beli mainan, mau beli buku, mau beli permen, mau beli mobil-mobilan. Nah, njenengan bisa enggak memenuhi semua itu? Nah, begitu juga njenengan kalau datang ke saya.”

Bagi Puteri Indonesia 2001 ini, kenyataan ini bisa dipetik hikmahnya. Tuntutan di bawah itu tidak seperti yang kita bayangkan. Karena tak mau ditangkap KPK ia tidak mau memberi janji. Menjadi kewajiban kita bersama untuk membangun kesadaran ideal, yakni menjadikan pemilu yang bersih dari politik uang. Bila perlu seperti diusulkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) kewajiban 'setor' ke partai bagi anggota legislatif dihapuskan, minimal dikurangi.

Di sisi lain kita suport KPK. Penangkapan oleh KPK semoga tak hanya membuat anggota DPR lainnya berpikir saat melakukan hal serupa, tetapi juga memberikan pemahaman baru kepada masyarakat, terutama tentang korupsi di lingkungan publik. (ahmad suroso)

Corner Tribun Batam, 11 Maret 2009

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut