KEKHAWATIRAN akan munculnya banyak persoalan pada pelaksanaan pemilu legislatif yang waktunya tinggal 40 hari lagi bukan hanya dirasakan berbagai kalangan, mulai dari DPR, pengurus parpol, lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi dan masyarakat pada umumnya, tetapi juga menghinggapi Komisi Pemilihan Umum selaku penanggung jawab pelaksanaan pemilu 2009.
Seperti diungkapkan anggota KPU I Gusti Putu Artha pada acara Bimbingan Teknis Sosialisasi Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS yang digelar di Lombok, NTB, Kamis (26/2). Menurut Putu, setidaknya ada 3 potensi kerawanan di hari pemungutan yang menjadi perhatian serius KPU. Kerawanan pertama adalah, jumlah bilik suara yang kurang, tak sebanding dengan jumlah pemilih tetap yang mencapai 170 juta.
Apalagi pasca terbitnya Perppu tentang perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kamis (26/2), akan lebih banyak perubahan jumlah pemilih yang belum masuk DPT. Jika pemilih dalam satu TPS berjumlah di atas 350 orang, waktu pemungutan suara dikhawatirkan melewati batas yakni pukul 12.00. Padahal, dari hasil simulasi di berbagai daerah, waktu yang dibutuhkan pemilih cukup lama dengan model pencontrengan.
Kerawanan kedua, munculnya manipulasi data pemilih di TPS yang dilakukan oleh panitia atau KPPS bila mereka tidak taat asas dan profesional. Ketiga, waktu penghitungan suara yang lebih lama. Kalau dengan sistem mencoblos cukup diterawang sudah terlihat suara yang dipilih. Dengan mencontreng, petugas harus melihat dengan seksama di mana tanda yang dicontreng. Untuk itu, KPUD diminta lebih aktif lagi melakukan sosialisasi dan pengawasan serta mengantisipasi setiap potensi kerawanan saat pelaksanaan pemilu legislatif 9 April nanti.
Bila dicermati lebih dalam, masih banyak potensi keruwetan yang akan muncul pada pemilu 2009 dibandingkan pemilu lima tahun lalu. Mulai dari soal contreng/centang, tiadanya tempat pemungutan suara (TPS) khusus, misalnya di penjara dan rumah sakit, bilik suara yang tak sebanding dengan lebar surat suara yang sangat lebar bila dibanding pemilu 2004 karena banyaknya parpol (38) peserta pemilu, sehingga dikhawatirkan tak cukup saat dimasukkan ke kotak suara yang sebagian menggunakan bekas Pemilu 2004.
Problem lainnya menyangkut kotak suara yang lubang dan daya tampungnya kecil, hingga soal penetapan pemenang yang menggunakan prinsip suara terbanyak. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan caleg yang berhak mewakili rakyat tidak lagi didasarkan pada nomor urut, tetapi berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh. Model ini dikhawatirkan akan memicu konflik antarcaleg di satu parpol menjadi lebih marak.
Selanjutnya soal jumlah surat suara. Undang-undang menyebutkan jumlah surat suara di tiap tempat pemungutan suara sama dengan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap, plus cadangan 2 persen. Padahal undang-undang juga menyebutkan, bila terjadi kesalahan dalam pencontrengan, seorang pemilih diberi hak satu kali untuk mengulang.
Jika prinsip ini diterapkan kepada setiap pemilih, jumlah surat suara jelas tak cukup. Apalagi pemilih juga diberi kesempatan untuk pindah tempat pemungutan suara. Bukan tak mungkin, di satu tempat, permintaan surat suara menjadi tinggi akibat penerapan prinsip ini. Bila ternyata tidak bisa terpenuhi tambahan surat suara dimaksud, ini berpotensi memicu protes.
Belum lagi persoalan masih sangat rendahnya pengetahuan pemilih tentang apa yang harus dilakukan di bilik suara. Dari hasil simulasi di berbagai daerah menunjukkan kesalahan dalam pemungutan suara di atas 25 persen. Hal ini masih ditambah dengan kecenderungan sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2009, akan membuat partisipasi warga dalam pemilu kali ini rendah.
Semua persoalan tersebut bila tidak dibereskan secepatnya akan jadi bom waktu. Menghadapi hajatan pemilu 2009 yang merupakan pemilu paling rumit bila dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, semua pihak khususnya peserta pemilu diharapkan bersikap lebih arif, lebih mengedepankan hati nurani serta tidak mencari-cari kesalahan demi memperoleh kemenangan. (ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, Sabtu, 28 Februari 2009
Jumat, 27 Februari 2009
Jayalah Produk Dalam Negeri
SETELAH pertengahan Februari lalu, pemerintah mengumumkan akan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang akan ditandatangani oleh delapan menteri tentang kewajiban menggunakan produk dalam negeri bagi sekitar 4 juta pegawai negeri sipil, kini giliran Menteri Perekonomian merangkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewajibkan Badan Usaha Milik Negara untuk mengenakan produksi dalam negeri.
Kebijakan aturan proteksionis itu menurut Sri Mulyani saat berbicara pada forum BUMN Executive Breakfast Meeting "Ekonomi Outlook 2009" di Jakarta Rabu (25/2) itu dimaksudkan untuk menjaga industri dalam negeri agar terus bisa bergerak di tengah-tengah himpitan krisis ekonomi dunia.
Permintaan Menkeu agar BUMN menggunakan produk-produk Indonesia bisa dimaknai sebagai ajakan kepada BUMN di dalam menggerakkan roda bisnisnya atau melaksanakan proyek-proyek untuk mengutamakan penggunaan produk-produk dalam negeri, di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009 yang diprediksi oleh Managing Director Internasional Monetery Fund, Dominique Strauss Khan akan mendekati 0,5 persen.
Bukankah negara kita merupakan produsen sumber daya alam dan beragam kebutuhan input untuk proses produksi pengolahan lanjutan, mulai dari tenaga kerja, konsultan, teknologi, mesin, dan lainnya. Dari pada kita membuang devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri, tentu lebih baik menggunakan input dari dalam negeri. Karena selain menghemat devisa juga akan membantu kesempatan kerja bagi masyarakat, dan menyelamatkan perusahaan dan industri-industri kecil di Indonesia. Sehingga karyawan di perusahaan-perusahaan dalam negeri juga akan terhindar dari PHK, karena order jalan terus. Kalaupun terpaksa ada PHK, jumlahnya bisa diminalisir.
Kebijakan wajib memakai produk dalam negeri itu juga cukup beralasan, mengingat kondisi perekonomian dunia saat ini bisa dikatakan sedang sekarat, menyusul terseok-seoknya perekonomian Amerika Serikat sejak tahun 2008, diikuti 'gulung tikarnya' ekonomi Eropa. AS dan negara-negara Eropa yang dikenal sebagai negeri maju dan donor kini kondisinya terperosok dalam karena ekspornya merosot drastis. Kegamangan juga melanda negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang, Cina, Thailand, Singapura, Malaysia. Ini memaksa negara-negara di dunia memproteksi produk dalam negeri dan lebih memprioritaskan untuk mengurusi negaranya sendiri.
Indonesia, siap tidak siap, cepat atau lambat juga pasti akan terkena imbas krisis ekonomi dunia. Karena itu kita perlu segera menyelamatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya pemerintah mengeluarkan kebijakan memproteksi produk dalam negeri. Selain itu juga memberikan paket stimulus ekonomi melalui paket APBN yang sudah disetujui DPR sebesar Rp 73,3 triliun yang segera akan digulirkan mulai awal Maret 2009.
Jadi sudah sepantasnya, bukan hanya para PNS dan BUMN, tetapi seluruh masyarakat mendukung penuh kebijakan untuk mengonsumsi produk dalam negeri, tanpa harus menggembar- gemborkan anti produk asing . Kini saatnya untuk membangkitkan kembali slogan-slogan yang dulu sering didengung-dengungkan, yakni mencintai produk dalam negeri, menumbuhkan semangat nasionalisme yang selama ini cenderung memudar di tengah gempuran kapitalisme dunia.
Krisis perekonomian dunia 2009 yang terburuk sepanjang sejarah sejak perang dunia II bahkan bisa jadi lebih parah dari Great Depresion pada 1930-an bisa dijadikan sebagai moment untuk membangun kembali kesadaran kita sebagai anak bangsa untuk menggunakan produk dalam negeri dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di kantor.
Bagaimana dengan masyarakat Provinsi Kepri, khususnya Pulau Batam, Bintan dan Karimun, yang selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masih banyak mengimpor barang-barang dari jiran Singapura dan Malaysia? Sebagai bagian dari anak bangsa, sudah sepantasnya kita mulai mengurangi penggunaan produk impor, dan lebih mengutamakan mengonsumsi produk dalam negeri. Dengan tingginya konsumsi produk dalam negeri, secara tidak langsung ini membuka peluang usaha bagi masyarakat, untuk ikut terjun dalam pengadaan barang-barang tersebut. (Ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Jumat, 27 Februari 2009
Kebijakan aturan proteksionis itu menurut Sri Mulyani saat berbicara pada forum BUMN Executive Breakfast Meeting "Ekonomi Outlook 2009" di Jakarta Rabu (25/2) itu dimaksudkan untuk menjaga industri dalam negeri agar terus bisa bergerak di tengah-tengah himpitan krisis ekonomi dunia.
Permintaan Menkeu agar BUMN menggunakan produk-produk Indonesia bisa dimaknai sebagai ajakan kepada BUMN di dalam menggerakkan roda bisnisnya atau melaksanakan proyek-proyek untuk mengutamakan penggunaan produk-produk dalam negeri, di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi dunia pada 2009 yang diprediksi oleh Managing Director Internasional Monetery Fund, Dominique Strauss Khan akan mendekati 0,5 persen.
Bukankah negara kita merupakan produsen sumber daya alam dan beragam kebutuhan input untuk proses produksi pengolahan lanjutan, mulai dari tenaga kerja, konsultan, teknologi, mesin, dan lainnya. Dari pada kita membuang devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri, tentu lebih baik menggunakan input dari dalam negeri. Karena selain menghemat devisa juga akan membantu kesempatan kerja bagi masyarakat, dan menyelamatkan perusahaan dan industri-industri kecil di Indonesia. Sehingga karyawan di perusahaan-perusahaan dalam negeri juga akan terhindar dari PHK, karena order jalan terus. Kalaupun terpaksa ada PHK, jumlahnya bisa diminalisir.
Kebijakan wajib memakai produk dalam negeri itu juga cukup beralasan, mengingat kondisi perekonomian dunia saat ini bisa dikatakan sedang sekarat, menyusul terseok-seoknya perekonomian Amerika Serikat sejak tahun 2008, diikuti 'gulung tikarnya' ekonomi Eropa. AS dan negara-negara Eropa yang dikenal sebagai negeri maju dan donor kini kondisinya terperosok dalam karena ekspornya merosot drastis. Kegamangan juga melanda negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang, Cina, Thailand, Singapura, Malaysia. Ini memaksa negara-negara di dunia memproteksi produk dalam negeri dan lebih memprioritaskan untuk mengurusi negaranya sendiri.
Indonesia, siap tidak siap, cepat atau lambat juga pasti akan terkena imbas krisis ekonomi dunia. Karena itu kita perlu segera menyelamatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya pemerintah mengeluarkan kebijakan memproteksi produk dalam negeri. Selain itu juga memberikan paket stimulus ekonomi melalui paket APBN yang sudah disetujui DPR sebesar Rp 73,3 triliun yang segera akan digulirkan mulai awal Maret 2009.
Jadi sudah sepantasnya, bukan hanya para PNS dan BUMN, tetapi seluruh masyarakat mendukung penuh kebijakan untuk mengonsumsi produk dalam negeri, tanpa harus menggembar- gemborkan anti produk asing . Kini saatnya untuk membangkitkan kembali slogan-slogan yang dulu sering didengung-dengungkan, yakni mencintai produk dalam negeri, menumbuhkan semangat nasionalisme yang selama ini cenderung memudar di tengah gempuran kapitalisme dunia.
Krisis perekonomian dunia 2009 yang terburuk sepanjang sejarah sejak perang dunia II bahkan bisa jadi lebih parah dari Great Depresion pada 1930-an bisa dijadikan sebagai moment untuk membangun kembali kesadaran kita sebagai anak bangsa untuk menggunakan produk dalam negeri dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di kantor.
Bagaimana dengan masyarakat Provinsi Kepri, khususnya Pulau Batam, Bintan dan Karimun, yang selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masih banyak mengimpor barang-barang dari jiran Singapura dan Malaysia? Sebagai bagian dari anak bangsa, sudah sepantasnya kita mulai mengurangi penggunaan produk impor, dan lebih mengutamakan mengonsumsi produk dalam negeri. Dengan tingginya konsumsi produk dalam negeri, secara tidak langsung ini membuka peluang usaha bagi masyarakat, untuk ikut terjun dalam pengadaan barang-barang tersebut. (Ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Jumat, 27 Februari 2009
Putusan MK Melegakan pers
PERJUANGAN delapan pimpinan media massa yang mengajukan uji materiil (judicial review) atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, DPD ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (242), MK membatalkan ketentuan UU Pemilu yang mengatur sanksi terhadap lembaga pers dan penyiaran yang melanggar pembatasan iklan kampanye. Pertimbangannya, pasal 98 ayat 2, 3 dan 4 dan pasal 99 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut inkonstitusional.
Kedua pasal itu bukan saja bertentangan dengan UU lainnya, juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan pasal 98 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu, menurut Mahkamah dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Mahkamah menilai kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers mencampuri kewenangan KPU mengatur peserta Pemilu. Karena itu, supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, Mahkamah menyatakan dua pasal itu tak berlaku lagi. Lagi pula dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU Nomor 40 Tahun 1999, tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
Menurut MK, pemberian sanksi sampai pembredelan media yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2,3,4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Karena Konstitusi telah memberikan jaminan sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi, antara lain dengan dicabutnya keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.
Pertimbangan MK, UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yakni media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU Pers No 40/1999. Bila lembaga penyiaran memerlukan perizinan dari Menkoinfo serta KPI, maka media cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi manapun.
Keputusan MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemred Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota dan tabloid Cek & Ricek itu melegakan insan pers di Indonesia, dan sebenarnya juga menguntungkan masyarakat. Bukankah sejak era reformasi negara telah memberikan jaminan yang sangat tegas atas perlindungan kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan sebagai hak konstitusional warga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU Pemilu tersebut merupakan langkah mundur. Karena, pers sudah memiliki UU tersendiri, yaitu UU No 40/1999 yang tidak mengenal lembaga pembredelan dan penyensoran. Sehingga bila terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap oleh pers, cukup digunakan UU pers tersebut yang memang sudah disiapkan untuk memberikan sanksi kepada media, bukan berdasarkan UU yang lain. Begitu juga jika terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, untuk menjatuhkan sanksi sudah diatur dalam UU 32/2002.
Dewan Pers dibentuk justru untuk melindungi kebebasan pers. Lagi pula, Dewan Pers bukanlah penegak hukum yang dapat menjatuhkan sanksi, bukan lembaga judisial, tetapi merupakan lembaga mediasi untuk menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers, yang kewenangannya sebatas memberikan pertimbangan moral, bukan sanksi hukum.(ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, Kamis, 26 Februari 2009
Kedua pasal itu bukan saja bertentangan dengan UU lainnya, juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan pasal 98 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu, menurut Mahkamah dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Mahkamah menilai kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers mencampuri kewenangan KPU mengatur peserta Pemilu. Karena itu, supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, Mahkamah menyatakan dua pasal itu tak berlaku lagi. Lagi pula dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU Nomor 40 Tahun 1999, tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
Menurut MK, pemberian sanksi sampai pembredelan media yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2,3,4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Karena Konstitusi telah memberikan jaminan sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi, antara lain dengan dicabutnya keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.
Pertimbangan MK, UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yakni media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU Pers No 40/1999. Bila lembaga penyiaran memerlukan perizinan dari Menkoinfo serta KPI, maka media cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi manapun.
Keputusan MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemred Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota dan tabloid Cek & Ricek itu melegakan insan pers di Indonesia, dan sebenarnya juga menguntungkan masyarakat. Bukankah sejak era reformasi negara telah memberikan jaminan yang sangat tegas atas perlindungan kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan sebagai hak konstitusional warga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU Pemilu tersebut merupakan langkah mundur. Karena, pers sudah memiliki UU tersendiri, yaitu UU No 40/1999 yang tidak mengenal lembaga pembredelan dan penyensoran. Sehingga bila terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap oleh pers, cukup digunakan UU pers tersebut yang memang sudah disiapkan untuk memberikan sanksi kepada media, bukan berdasarkan UU yang lain. Begitu juga jika terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, untuk menjatuhkan sanksi sudah diatur dalam UU 32/2002.
Dewan Pers dibentuk justru untuk melindungi kebebasan pers. Lagi pula, Dewan Pers bukanlah penegak hukum yang dapat menjatuhkan sanksi, bukan lembaga judisial, tetapi merupakan lembaga mediasi untuk menyelesaikan persoalan akibat pemberitaan pers, yang kewenangannya sebatas memberikan pertimbangan moral, bukan sanksi hukum.(ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, Kamis, 26 Februari 2009
Minggu, 15 Februari 2009
Fenomena Ponari Efek Diskriminasi Kesehatan
SAMPAI detik ini, masyarakat Indonesia masih dihebohkan dengan bocah cilik asal Jombang Jawa Timur, bernama Ponari yang tiba-tiba mendapat kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan sebuah batu yang dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan cepat pula puluhan ribu orang dari berbagai kota, khususnya di Jawa memadati dusun tempat tinggal Ponari di Jombang.
Kemampuan Ponari untuk menyembuhkan penyakit diakui oleh peneliti kesehatan tradisional Prof Dr dr Hariyadi Soeprapto, seperti dikutip Kompas, Kamis (12/2). Menurut Haryadi, fenomena pengobatan Ponari tak bisa hanya dianalisis dari sisi ilmiah. Semua orang seharusnya lebih bijaksana menghadapi fenomena Ponari ini, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kekuatan gaib pada diri Ponari yang tidak bisa dijelaskan dengan akal. Harus diakui bahwa masyarakat yang berduyun-duyun ke praktik Ponari melihat hal ini dari sisi kegunaan, dari sisi aksiologinya saja. Mereka tak butuh penjelasan ilmiah, mereka hanya ingin sembuh.
Itulah sebabnya, meskipun praktek pengobatan dukun cilik Ponari sudah memakan korban empat orang tewas terinjak-injak karena berdesakan saat antre di gang sempit menuju rumah Ponari tidak menyurutkan ribuan orang untuk datang berobat. Juga walaupun sudah diumumkan praktek pengobatan dukun cilik Ponari ditutup sejak beberapa hari lalu, orang tetap nekad menunggu, bahkan ada yang sampai berhari-hari menginap di rumah penduduk setempat agar bisa disembuhkan oleh Ponari.
Kita dibuat terpana. Mungkin saja Ponari atau batu ajaib yang ditemukan Ponari punya kekuatan gaib untuk bisa menyembuhkan penyakit. Tetapi ada pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena berduyun-duyunnya ribuan orang untuk berobat ke Ponari yang konon hanya memungut bayaran Rp 2.000 per orang.
Fenomena Ponari ini menguatkan asumsi bahwa keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi. Cerita orang miskin di negeri ini "disandera" rumah sakit sudah biasa. Juga tak usah heran bila seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan.
Kasus terbaru yang membuat nurani kita tersentuh, kisah seorang ayah yang terpaksa berjalan kaki 10 km dari rumah sakit ke rumahnya sambil menggendong jenazah anaknya yang masih berusia 2,5 tahun. Seperti diberitakan Tribun (15/2), Yakobus Anunut, meskipun sudah menunjukkan jaminan kesehatan untuk orang miskin (askeskin), tapi gara-gara tak punya uang Rp 300 ribu untuk sewa ambulance rumah sakit milik pemerintah, RSU Prof Dr WZ Johannes Kupang, Kamis (12/2) dinihari terpaksa membawa pulang jenazah anaknya berjalan kaki 10 km.
Mengapa kasus-kasus tersebut terjadi? Kalau kita runut akar utamanya sebenarnya adalah karena anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang diskriminatif. Dari APBN 2009 yang berjumlah Rp1.037,1 triliun, anggaran Departemen Kesehatan hanya Rp20,3 triliun atau 2,8 persen dari total APBN 2009. Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 persen dari APBN. Ini "PR" bagi pemerintahan hasil pemilu 2009 untuk menaikkan anggaran kesehatan, khususnya untuk masyarakat bawah.
Sebab sampai sekarang, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Solusinya, antara lain memang Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Askeskin yang kini diganti menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah. (ahmad suroso)
Corner, Tribun Batam Senin (16/2/2009)
Kemampuan Ponari untuk menyembuhkan penyakit diakui oleh peneliti kesehatan tradisional Prof Dr dr Hariyadi Soeprapto, seperti dikutip Kompas, Kamis (12/2). Menurut Haryadi, fenomena pengobatan Ponari tak bisa hanya dianalisis dari sisi ilmiah. Semua orang seharusnya lebih bijaksana menghadapi fenomena Ponari ini, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kekuatan gaib pada diri Ponari yang tidak bisa dijelaskan dengan akal. Harus diakui bahwa masyarakat yang berduyun-duyun ke praktik Ponari melihat hal ini dari sisi kegunaan, dari sisi aksiologinya saja. Mereka tak butuh penjelasan ilmiah, mereka hanya ingin sembuh.
Itulah sebabnya, meskipun praktek pengobatan dukun cilik Ponari sudah memakan korban empat orang tewas terinjak-injak karena berdesakan saat antre di gang sempit menuju rumah Ponari tidak menyurutkan ribuan orang untuk datang berobat. Juga walaupun sudah diumumkan praktek pengobatan dukun cilik Ponari ditutup sejak beberapa hari lalu, orang tetap nekad menunggu, bahkan ada yang sampai berhari-hari menginap di rumah penduduk setempat agar bisa disembuhkan oleh Ponari.
Kita dibuat terpana. Mungkin saja Ponari atau batu ajaib yang ditemukan Ponari punya kekuatan gaib untuk bisa menyembuhkan penyakit. Tetapi ada pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena berduyun-duyunnya ribuan orang untuk berobat ke Ponari yang konon hanya memungut bayaran Rp 2.000 per orang.
Fenomena Ponari ini menguatkan asumsi bahwa keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi. Cerita orang miskin di negeri ini "disandera" rumah sakit sudah biasa. Juga tak usah heran bila seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan.
Kasus terbaru yang membuat nurani kita tersentuh, kisah seorang ayah yang terpaksa berjalan kaki 10 km dari rumah sakit ke rumahnya sambil menggendong jenazah anaknya yang masih berusia 2,5 tahun. Seperti diberitakan Tribun (15/2), Yakobus Anunut, meskipun sudah menunjukkan jaminan kesehatan untuk orang miskin (askeskin), tapi gara-gara tak punya uang Rp 300 ribu untuk sewa ambulance rumah sakit milik pemerintah, RSU Prof Dr WZ Johannes Kupang, Kamis (12/2) dinihari terpaksa membawa pulang jenazah anaknya berjalan kaki 10 km.
Mengapa kasus-kasus tersebut terjadi? Kalau kita runut akar utamanya sebenarnya adalah karena anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang diskriminatif. Dari APBN 2009 yang berjumlah Rp1.037,1 triliun, anggaran Departemen Kesehatan hanya Rp20,3 triliun atau 2,8 persen dari total APBN 2009. Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 persen dari APBN. Ini "PR" bagi pemerintahan hasil pemilu 2009 untuk menaikkan anggaran kesehatan, khususnya untuk masyarakat bawah.
Sebab sampai sekarang, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Solusinya, antara lain memang Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Askeskin yang kini diganti menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah. (ahmad suroso)
Corner, Tribun Batam Senin (16/2/2009)
Makna Kunjungan Menlu AS ke RI
PERTENGAHAN bulan ini, tepatnya 18-19 Februari 2009, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dijadwalkan akan berkunjumg ke Indonesia. Ini adalah kunjungan kedua Hillary Clinton ke Indonesia, setelah sekitar lima belas tahun lalu mantan Ibu Negara AS itu juga pernah berkunjung ke Indonesia mendampingi suaminya, Bill Clinton yang waktu itu presiden negaranya.
Hillary ditugasi oleh Presiden AS Barack Obama untuk melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pertemuan bilateral dengan mitranya, Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda. Dari Indonesia, menlu AS ini akan langsung ke Cina, Jepang dan Korea Selatan. Dalam agenda Hillary, semula Indonesia tidak termasuk salah satu tujuan lawatannya.
Tetapi Presiden Obama menugasinya berkunjung ke Indonesia sebagai salah satu agenda lawatannya di Asia. Ini artinya, Obama memandang penting posisi dan peranan strategis Indonesia, suatu negara yang pernah dia tinggali antara 1967-1971 bersama ibu dan ayah tirinya Lolo Soetoro di kawasan Menteng Dalam, Jakarta.
Ada beberapa kemungkinan alasan Menlu AS Hillary mengawali lawatannya ke luar negeri dengan memprioritaskan ke Indonesia. Dalam pidatonya di senat AS beberapa waktu lalu, Hillary menyebut Indonesia adalah negara yang patut diperhatikan lantaran dianggap mampu menahan dampak krisis keuangan AS.
Kehadiran ke Indonesia juga disebut-sebut untuk mengeratkan hubungan dengan negara bermuslim terbesar yang mengusung demokrasi secara apik, sesuai dengan komitmen Presiden Barack Obama. Kunjungan ke Indonesia akan menjadi pesan kuat AS kepada dunia Islam bahwa politik AS tidak berat sebelah dan bahwa AS tidak memerangi dunia Islam. Apalagi mengingat Asia Tenggara merupakan tempat dari seperempat dari penduduk muslim dunia yang toleran dan cinta damai. Dalam hal ini, batu penjuru bagi terciptanya stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut adalah Indonesia.
Jika sebelumnya di masa Presiden George Bush AS selalu menganggap negara-negara lain, khususnya Islam, sebagai lawan, Presiden Obama justru mengubah pendekatannya sebagai kawan. Ini tercermin dari pernyataannya, beberapa hari setelah dilantik, dalam suatu wawancara dengan TV Al-Arabia, Presiden Obama mengatakan kepada Dunia Muslim: “Orang-orang AS bukan musuhmu, tetapi sahabatmu”.
Kita yakin Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam menjembatani hubungan baru antara AS-Dunia Muslim karena beberapa faktor. Antara lain, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan dikenal sebagai Muslim moderat sangat diperhitungkan peranannya dalam percaturan internasional, termasuk dalam hubungan AS-Dunia Muslim. Dunia Muslim sendiri memandang Indonesia sebagai memiliki potensi dan kapasitas untuk menjembatani hubungan baru AS-Dunia Muslim karena posisi dan peranan Indonesia yang penting dalam percaturan internasional.
Faktor lainnya, modal politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif (tidak berpihak kepada blok mana pun tetapi aktif dalam mengupayakan perdamaian dunia). Hal ini antara lain dibuktikan oleh keaktivan Indonesia dalam mengirimkan pasukan penjaga perdamaian seperti di Kongo dan Lebanon di bawah bendera PBB.
Ke depan hubungan baru AS (Barat pada umumnya) dan Dunia Muslim harus dibina dan dikembangkan agar lebih baik dan lebih bermanfaat untuk kedua belah pihak dan untuk masyarakat internasional pada umumnya. Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peranan penting dan menjembataninya.
Untuk itu kepada Menlu AS Hillary Clinton kita mengucapkan selamat datang ke Indonesia.
Kita harus bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kunjungan mantan First Lady Amerika Serikat itu ke Indonesia, untuk untuk mempererat kerjasama antara kedua negara besar tersebut, bisa membangun suatu sinergi atau hubungan yang baik dan seimbang dan saling menghormati, saling menguntungkan.Kunjungan ini juga menunjukkan bahwa Indonesia sudah masuk dalam radar negara besar sebagai emerging country yang patut diperhitungkan dalam kontribusinya di dunia ini. (ahmad suroso)
Corner, Tribun Batam, Sabtu (14/2)
Hillary ditugasi oleh Presiden AS Barack Obama untuk melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pertemuan bilateral dengan mitranya, Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda. Dari Indonesia, menlu AS ini akan langsung ke Cina, Jepang dan Korea Selatan. Dalam agenda Hillary, semula Indonesia tidak termasuk salah satu tujuan lawatannya.
Tetapi Presiden Obama menugasinya berkunjung ke Indonesia sebagai salah satu agenda lawatannya di Asia. Ini artinya, Obama memandang penting posisi dan peranan strategis Indonesia, suatu negara yang pernah dia tinggali antara 1967-1971 bersama ibu dan ayah tirinya Lolo Soetoro di kawasan Menteng Dalam, Jakarta.
Ada beberapa kemungkinan alasan Menlu AS Hillary mengawali lawatannya ke luar negeri dengan memprioritaskan ke Indonesia. Dalam pidatonya di senat AS beberapa waktu lalu, Hillary menyebut Indonesia adalah negara yang patut diperhatikan lantaran dianggap mampu menahan dampak krisis keuangan AS.
Kehadiran ke Indonesia juga disebut-sebut untuk mengeratkan hubungan dengan negara bermuslim terbesar yang mengusung demokrasi secara apik, sesuai dengan komitmen Presiden Barack Obama. Kunjungan ke Indonesia akan menjadi pesan kuat AS kepada dunia Islam bahwa politik AS tidak berat sebelah dan bahwa AS tidak memerangi dunia Islam. Apalagi mengingat Asia Tenggara merupakan tempat dari seperempat dari penduduk muslim dunia yang toleran dan cinta damai. Dalam hal ini, batu penjuru bagi terciptanya stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut adalah Indonesia.
Jika sebelumnya di masa Presiden George Bush AS selalu menganggap negara-negara lain, khususnya Islam, sebagai lawan, Presiden Obama justru mengubah pendekatannya sebagai kawan. Ini tercermin dari pernyataannya, beberapa hari setelah dilantik, dalam suatu wawancara dengan TV Al-Arabia, Presiden Obama mengatakan kepada Dunia Muslim: “Orang-orang AS bukan musuhmu, tetapi sahabatmu”.
Kita yakin Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam menjembatani hubungan baru antara AS-Dunia Muslim karena beberapa faktor. Antara lain, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan dikenal sebagai Muslim moderat sangat diperhitungkan peranannya dalam percaturan internasional, termasuk dalam hubungan AS-Dunia Muslim. Dunia Muslim sendiri memandang Indonesia sebagai memiliki potensi dan kapasitas untuk menjembatani hubungan baru AS-Dunia Muslim karena posisi dan peranan Indonesia yang penting dalam percaturan internasional.
Faktor lainnya, modal politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif (tidak berpihak kepada blok mana pun tetapi aktif dalam mengupayakan perdamaian dunia). Hal ini antara lain dibuktikan oleh keaktivan Indonesia dalam mengirimkan pasukan penjaga perdamaian seperti di Kongo dan Lebanon di bawah bendera PBB.
Ke depan hubungan baru AS (Barat pada umumnya) dan Dunia Muslim harus dibina dan dikembangkan agar lebih baik dan lebih bermanfaat untuk kedua belah pihak dan untuk masyarakat internasional pada umumnya. Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peranan penting dan menjembataninya.
Untuk itu kepada Menlu AS Hillary Clinton kita mengucapkan selamat datang ke Indonesia.
Kita harus bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kunjungan mantan First Lady Amerika Serikat itu ke Indonesia, untuk untuk mempererat kerjasama antara kedua negara besar tersebut, bisa membangun suatu sinergi atau hubungan yang baik dan seimbang dan saling menghormati, saling menguntungkan.Kunjungan ini juga menunjukkan bahwa Indonesia sudah masuk dalam radar negara besar sebagai emerging country yang patut diperhitungkan dalam kontribusinya di dunia ini. (ahmad suroso)
Corner, Tribun Batam, Sabtu (14/2)
Kamis, 12 Februari 2009
Tanjungpinang Kian Bersinar
MAKET PELABUHAN - Maket mega proyek prestisius pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang senilai setengah triliun.
LUAR biasa! Itulah mungkin reaksi masyarakat ketika mendengar ada investor yang berani menanamkan investasi sekitar setengah triliun rupiah untuk menyulap Pelabuhan Fery Sri Bintan Pura Tanjungpinang menjadi menjadi pelabuhan moderen berlantai empat, lengkap dengan pusat bisnis mal dan hotel tujuh lantai, lapangan parkir delapan lantai, dan pusat jajanan di atas lahan lima hektare.
Bagaimana tidak, di tengah krisis global yang membuat pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 negatif, 0,5 persen, dan prediksi pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepri tak jauh beda dengan nasional (Indonesia) Januari 2009 yakni 4,7 persen (turun dibanding Januari 2008 yang mencapai 6,4 persen), masih ada investor yang berani menggarap proyek senilai Rp 454 miliar itu.
Mega proyek ini seperti diberitakan Tribun Rabu (11/2) akan dibangun atas kerjasama badan usaha milik daerah (BUMD) PT Pembangunan Kepri, Pelindo, Pemko Tanjungpinang, dan pihak swasta. Sedangkan kontraktor yang akan membangunnya adalah PT Bangun Bandar Cemerlang (BBC) yang dikepalai oleh Huzrin Hood, tokoh pejuang Provinsi Kepri.
Di satu sisi kita menyambut gembira rencana tersebut. Tetapi di sisi lain, kita juga sedikit meragukan kesungguhan investor dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya di mega proyek tersebut. Sebab kondisi perekonomian dunia, termasuk Indonesia saat ini sedang babak belur dan diprediksi oleh para analis, termasuk IMF (Dana Moneter Internasional) pertumbuhannya hanya 0,5 persen, terendah sejak Perang Dunia II, dan baru akan menggeliat lagi secara bertahap mulai tahun 2010.
Walikota Tanjungpinang, Suryatati A Manan sendiri sampai Kamis kemarin belum mau menandatangani rekomendasi pembangunan mega proyek tersebut. Pasalnya, masih ada beberapa point yang belum jelas, antara lain feasibility, sumber dana dan nota kesepahaman (MoU) pelabuhan tersebut.
Sementara Huzrin Hood selaku Kepala PT Bangun Bandar Cemerlang berjanji akan mampu menyelesaikan pembangunan proyek ini selama satu tahun delapan bulan sejak izin dikeluarkan. Namun sampai saat ini belum disepakati kapan proyek tersebut akan dimulai pengerjaannya. PT BBC masih mengurus berbagai perizinan untuk berbagai pengerjaan dalam proyek dimaksud.
Tak sedikit mega proyek lainnya yang akan dibangun di wilayah Kepri nasibnya sampai sekarang tak jelas. Seperti pembangunan Jembatan Batam-Bintan, pengembangan Pelabuhan Batuampar, dan Industri Biodiesel. Khusus proyek Jembatan Batam-Bintan yang direncanakan sejak tahun 2005 menurut informasi sudah banyak calon investor yang berniat membangun proyek ini. Seperti dari Perancis, Korea Selatan, dan investor dalam negeri.
Misalnya, Mei 2006 investor dari Brunei Darussalam menyatakan tertarik berinvestasi di proyek tersebut. Kemudian awal Januari 2007 Pemerintah Cina kepada Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah ( 8/1/2007) berminat mengerjakan proyek jembatan terpanjang yang menghubungkan Pulau Batam dan Pulau Bintan. Namun kenyataannya sampai sekarang belum ada satu pun investor yang sudah berani teken kontrak menggarap jembatan tersebut.
Kita tidak ingin nasib rencana mega proyek pelabuhan tersebut tinggal mimpi. Hanya menjadi proyek "AKAN". Akan dibangun ini, akan dibangun itu, tetapi realisasinya nol. Seperti terjadi di Provinsi Timor Timur dulu. Tahun 1993, saat penulis mengunjungi provinsi itu, gubernur saat itu, Abilio Soares mengaku kecewa, karena banyak sekali konglomerat dari Jakarta yang berkunjung ke Dili dan berjanji akan membangun mega proyek ini itu, tapi tak ada realisasinya sampai provinsi itu memisahkan diri dari RI. Pejabat dan masyarakat di Timtim saat itu mengistilahkannya dengan Proyek AKAN. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Jumat, 13 Februari 2009
LUAR biasa! Itulah mungkin reaksi masyarakat ketika mendengar ada investor yang berani menanamkan investasi sekitar setengah triliun rupiah untuk menyulap Pelabuhan Fery Sri Bintan Pura Tanjungpinang menjadi menjadi pelabuhan moderen berlantai empat, lengkap dengan pusat bisnis mal dan hotel tujuh lantai, lapangan parkir delapan lantai, dan pusat jajanan di atas lahan lima hektare.
Bagaimana tidak, di tengah krisis global yang membuat pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 negatif, 0,5 persen, dan prediksi pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepri tak jauh beda dengan nasional (Indonesia) Januari 2009 yakni 4,7 persen (turun dibanding Januari 2008 yang mencapai 6,4 persen), masih ada investor yang berani menggarap proyek senilai Rp 454 miliar itu.
Mega proyek ini seperti diberitakan Tribun Rabu (11/2) akan dibangun atas kerjasama badan usaha milik daerah (BUMD) PT Pembangunan Kepri, Pelindo, Pemko Tanjungpinang, dan pihak swasta. Sedangkan kontraktor yang akan membangunnya adalah PT Bangun Bandar Cemerlang (BBC) yang dikepalai oleh Huzrin Hood, tokoh pejuang Provinsi Kepri.
Di satu sisi kita menyambut gembira rencana tersebut. Tetapi di sisi lain, kita juga sedikit meragukan kesungguhan investor dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya di mega proyek tersebut. Sebab kondisi perekonomian dunia, termasuk Indonesia saat ini sedang babak belur dan diprediksi oleh para analis, termasuk IMF (Dana Moneter Internasional) pertumbuhannya hanya 0,5 persen, terendah sejak Perang Dunia II, dan baru akan menggeliat lagi secara bertahap mulai tahun 2010.
Walikota Tanjungpinang, Suryatati A Manan sendiri sampai Kamis kemarin belum mau menandatangani rekomendasi pembangunan mega proyek tersebut. Pasalnya, masih ada beberapa point yang belum jelas, antara lain feasibility, sumber dana dan nota kesepahaman (MoU) pelabuhan tersebut.
Sementara Huzrin Hood selaku Kepala PT Bangun Bandar Cemerlang berjanji akan mampu menyelesaikan pembangunan proyek ini selama satu tahun delapan bulan sejak izin dikeluarkan. Namun sampai saat ini belum disepakati kapan proyek tersebut akan dimulai pengerjaannya. PT BBC masih mengurus berbagai perizinan untuk berbagai pengerjaan dalam proyek dimaksud.
Tak sedikit mega proyek lainnya yang akan dibangun di wilayah Kepri nasibnya sampai sekarang tak jelas. Seperti pembangunan Jembatan Batam-Bintan, pengembangan Pelabuhan Batuampar, dan Industri Biodiesel. Khusus proyek Jembatan Batam-Bintan yang direncanakan sejak tahun 2005 menurut informasi sudah banyak calon investor yang berniat membangun proyek ini. Seperti dari Perancis, Korea Selatan, dan investor dalam negeri.
Misalnya, Mei 2006 investor dari Brunei Darussalam menyatakan tertarik berinvestasi di proyek tersebut. Kemudian awal Januari 2007 Pemerintah Cina kepada Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah ( 8/1/2007) berminat mengerjakan proyek jembatan terpanjang yang menghubungkan Pulau Batam dan Pulau Bintan. Namun kenyataannya sampai sekarang belum ada satu pun investor yang sudah berani teken kontrak menggarap jembatan tersebut.
Kita tidak ingin nasib rencana mega proyek pelabuhan tersebut tinggal mimpi. Hanya menjadi proyek "AKAN". Akan dibangun ini, akan dibangun itu, tetapi realisasinya nol. Seperti terjadi di Provinsi Timor Timur dulu. Tahun 1993, saat penulis mengunjungi provinsi itu, gubernur saat itu, Abilio Soares mengaku kecewa, karena banyak sekali konglomerat dari Jakarta yang berkunjung ke Dili dan berjanji akan membangun mega proyek ini itu, tapi tak ada realisasinya sampai provinsi itu memisahkan diri dari RI. Pejabat dan masyarakat di Timtim saat itu mengistilahkannya dengan Proyek AKAN. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, Jumat, 13 Februari 2009
Batam seperti Pengantin Ditinggal Kabur Suami
SAYA itu nelangsa kalau mikir nasib Batam sekarang. Bagi pengusaha, daerah Free Trade Zone (FTZ) artinya ada kemudahan-kemudahan. Tetapi dalam prakteknya, meskipun sekarang sudah ada PP (Peraturan Pemerintah) No 2 tahun 2009 sebagai pengganti PP No 63/2003, sampai sekarang kita hanya bisa bersilat lidah. Tadi Pak Edi (Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, red) bilang sementara belum ada juklaknya, yang berlaku peraturan sebelumnya. Jadi nasib FTZ Batam itu ibarat orang berumah tangga, setelah dinikahi langsung ditinggal kabur suami.
Pernyataan bernada keluhan dan sindiran yang diungkapkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Batam , Nada Faza Soraya di depan peserta forum seminar Peran Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun (FTZ BBK) dalam Mengatasi Dampak Krisis Global di Indonesia, Selasa (10/2) di Hotel Novotel Batam itu cukup mewakili suara keprihatinan yang sekarang dirasakan oleh masyarakat, khususnya para pengusaha Batam menanggapi berlarut-larutnya implementasi pelaksanaan FTZ BBK.
Apa yang disampaikan Nada Soraya yang mempunyai bisnis di bidang perkapalan itu cukup beralasan. Karena meskipun Presiden Susila Bambang Yudhoyono sudah meresmikan penerapan FTZ BBK sekaligus menandatangani PP No 2 Tahun 2009 pada 19 Januari 2009 lalu faktanya sampai sekarang masih terjadi kevakuman dalam menggerakan roda FTZ. Belum ada sinkronisasi antarinstansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur soal FTZ BBK, termasuk PP No 2/2009.
Angin surga yang dibawa oleh FTZ BBK yakni akan adanya kemudahan-kemudahan bagi pengusaha sampai hari ini belum dirasakan. Tidak ada perdagangan bebas seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Bahkan seperti diberitakan kemarin, Batam sampai mengalami kelangkaan berbagai produk makanan miniman impor yang selama ini dinikmati masyarakat, karena terganjal oleh aturan yang belum keluar.
Padahal seperti disampaikan Jon Arizal selaku Sekretaris DK FTZ usai rapat koordinasi bersama Badan Pengusahaan Kawasan Bintan akhir Januari 2009 lalu yang juga dihadiri pihak Bea Cukai, sudah ditekankan, selama masa transisi menunggu juklak terbit, semua pihak diminta jangan terlalu berlebihan mengambil tindakan. Begitu juga dengan Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBK mengingatkan semua pihak untuk tidak menghambat pelaksanaan BBK, untuk tidak mempersulit sesuatu yang mudah.
Tetapi dalam seminar kemarin, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edi Abdurrahman mengatakan, karena belum ada Juklak pasca keluarnya PP No 2/2009 maka untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum, yang berlaku peraturan sebelumnya. Ini bisa diartikan PP No 63/2003 sementara masih berlaku. Ini artinya, Sekretaris Menko Perekomian tidak mendukung Presiden. Tak heran bila para peserta seminar kemarin yang sebagian besar para pengusaha UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) mengaku bingung dengan sikap pemerintah yang tidak sejalan tersebut.
Untuk mengatasi kebuntuan dan ketidakpastian peraturan tersebut, maka pemerintah, khususnya semua instansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dan BPK harus bertemu mencari solusi atas masalah tersebut. Menteri Keuangan juga harus segera mengeluarkan petunjuk pelaksanaan FTZ BBK. Jangan biarkan pengusaha nasibnya seperti anak ayam kehilangan induknya. Perintah Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBM, sebulan setelah PP No 2 Tahun 2009 ditandatangani Presiden harus sudah terimplementasi. Artinya 19 Februari 2009 mendatang, FTZ BBK harus sudah terimplementasi. Semoga. (ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, 11 Februari 2009
Pernyataan bernada keluhan dan sindiran yang diungkapkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Batam , Nada Faza Soraya di depan peserta forum seminar Peran Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun (FTZ BBK) dalam Mengatasi Dampak Krisis Global di Indonesia, Selasa (10/2) di Hotel Novotel Batam itu cukup mewakili suara keprihatinan yang sekarang dirasakan oleh masyarakat, khususnya para pengusaha Batam menanggapi berlarut-larutnya implementasi pelaksanaan FTZ BBK.
Apa yang disampaikan Nada Soraya yang mempunyai bisnis di bidang perkapalan itu cukup beralasan. Karena meskipun Presiden Susila Bambang Yudhoyono sudah meresmikan penerapan FTZ BBK sekaligus menandatangani PP No 2 Tahun 2009 pada 19 Januari 2009 lalu faktanya sampai sekarang masih terjadi kevakuman dalam menggerakan roda FTZ. Belum ada sinkronisasi antarinstansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur soal FTZ BBK, termasuk PP No 2/2009.
Angin surga yang dibawa oleh FTZ BBK yakni akan adanya kemudahan-kemudahan bagi pengusaha sampai hari ini belum dirasakan. Tidak ada perdagangan bebas seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Bahkan seperti diberitakan kemarin, Batam sampai mengalami kelangkaan berbagai produk makanan miniman impor yang selama ini dinikmati masyarakat, karena terganjal oleh aturan yang belum keluar.
Padahal seperti disampaikan Jon Arizal selaku Sekretaris DK FTZ usai rapat koordinasi bersama Badan Pengusahaan Kawasan Bintan akhir Januari 2009 lalu yang juga dihadiri pihak Bea Cukai, sudah ditekankan, selama masa transisi menunggu juklak terbit, semua pihak diminta jangan terlalu berlebihan mengambil tindakan. Begitu juga dengan Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBK mengingatkan semua pihak untuk tidak menghambat pelaksanaan BBK, untuk tidak mempersulit sesuatu yang mudah.
Tetapi dalam seminar kemarin, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edi Abdurrahman mengatakan, karena belum ada Juklak pasca keluarnya PP No 2/2009 maka untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum, yang berlaku peraturan sebelumnya. Ini bisa diartikan PP No 63/2003 sementara masih berlaku. Ini artinya, Sekretaris Menko Perekomian tidak mendukung Presiden. Tak heran bila para peserta seminar kemarin yang sebagian besar para pengusaha UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) mengaku bingung dengan sikap pemerintah yang tidak sejalan tersebut.
Untuk mengatasi kebuntuan dan ketidakpastian peraturan tersebut, maka pemerintah, khususnya semua instansi yang tergabung dalam Dewan Kawasan dan BPK harus bertemu mencari solusi atas masalah tersebut. Menteri Keuangan juga harus segera mengeluarkan petunjuk pelaksanaan FTZ BBK. Jangan biarkan pengusaha nasibnya seperti anak ayam kehilangan induknya. Perintah Presiden SBY saat meresmikan FTZ BBM, sebulan setelah PP No 2 Tahun 2009 ditandatangani Presiden harus sudah terimplementasi. Artinya 19 Februari 2009 mendatang, FTZ BBK harus sudah terimplementasi. Semoga. (ahmad suroso)
Tajuk, Tribun Batam, 11 Februari 2009
Sabtu, 07 Februari 2009
Mendukung Sikap Tegas Kapolri
KEPALA Kepolisian Daerah Sumatera Utara Irjen Pol Nanan Sukarna dan Kepala Kepolisian Kota Besar Medan Anton Suhartono akhirnya kena getahnya, menyusul demo anarkis meminta pemekaran Provinsi Tapanuli terpisah dari Provinsi induk Sumut yang merenggut nyawa Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sumut Utara Abdul Aziz Angkat Rabu (4/2) silam.
Kedua petinggi Polri tersebut diberhentikan dan akan diganti dengan pejabat baru, sebagai sanksi atas ketidakmampuan dan kelalaiannya menjalankan tugas mengamankan jalannya unjuk rasa tersebut. Pencopotan keduanya diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri Jumat (6/2) usai melapor hasil sementara tim khusus Mabes Polri ke Kepala Negara Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.
Kita berikan apresiasi terhadap sikap tegas Kapolri tersebut. Pembinaan dan profesionalisme aparat kepolisian harus ditegakkan, demi menjaga marwah kepolisian sebagai salah satu dari unsur Catur Wangsa aparat penegak hukum. Sikap tegas Kapolri tersebut sekaligus juga sebagai peringatan bagi aparat kepolisian, jangan sampai peristiwa di DPRD Sumut itu terulang lagi. Sudah menjadi kewajiban dari aparat kepolisian untuk menjaga dan mengamankan simbol-simbol kedaulatan rakyat. Sehingga bila ada tindakan yang secara profesional tidak dilakoni pihak kepolisian, harus ada sanksi.
Selain mencopot dua petinggi Polri, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri juga menegaskan tekatnya mengusut demo maut Sumut hingga tuntas. Polisi terus memburu mereka yang terlibat, baik aktor di belakang maupun pelaku di lapangan. Sampai kemarin sudah menetapkan 12 orang tersangka.Dan kemungkinan jumlah tersangka masih akan terus bertambah.
Demo pemekaran wilayah yang berlangsung beringas, liar sampai menewaskan Ketua DPRD Sumut itu memang sangat disesalkan. Peristiwa kekerasan dalam unjuk rasa menuntut pemekaran itu merupakan klimak dari aksi-aksi kekerasan yang selama ini sering menyertai proses menuntut pemekaran wilayah di berbagai daerah. Tak heran bila para pakar politik lokal dan otonomi daerah, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhono meminta ini dijadikan momentum untuk melakukan moratorium (menghentikan) pemekaran daerah baru.
Moratorium itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik. Dalam wawancara dengan stasiun televisi pasca insiden berdarah di DPRD Sumut, penggagas konsep Otonomi Daerah Prof Dr Ryass Rasyid juga mengatakan, pemekaran daerah baru selama ini sudah menyimpang dari semangat otonomi daerah. Tidak lagi didasarkan oleh kepentingan nasional, tetapi hanya berdasarkan kepentingan etnosentris daerah, elit-elit lokal untuk bisa mendapatkan jabatan di birokrasi dan jabatan politis dengan mengerahkan rakyat yang berbuntut pada konflik.
DPR sendiri mengakui, 80 persen dari pemekaran daerah dinilai gagal. Karena itu, kita mendukung langkah pemerintah untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru, apalagi tahun ini bangsa Indonesia sedang melaksanakan hajatan besar pemilu legislatif dan presiden. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 7 Februari 2009
Kedua petinggi Polri tersebut diberhentikan dan akan diganti dengan pejabat baru, sebagai sanksi atas ketidakmampuan dan kelalaiannya menjalankan tugas mengamankan jalannya unjuk rasa tersebut. Pencopotan keduanya diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri Jumat (6/2) usai melapor hasil sementara tim khusus Mabes Polri ke Kepala Negara Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.
Kita berikan apresiasi terhadap sikap tegas Kapolri tersebut. Pembinaan dan profesionalisme aparat kepolisian harus ditegakkan, demi menjaga marwah kepolisian sebagai salah satu dari unsur Catur Wangsa aparat penegak hukum. Sikap tegas Kapolri tersebut sekaligus juga sebagai peringatan bagi aparat kepolisian, jangan sampai peristiwa di DPRD Sumut itu terulang lagi. Sudah menjadi kewajiban dari aparat kepolisian untuk menjaga dan mengamankan simbol-simbol kedaulatan rakyat. Sehingga bila ada tindakan yang secara profesional tidak dilakoni pihak kepolisian, harus ada sanksi.
Selain mencopot dua petinggi Polri, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri juga menegaskan tekatnya mengusut demo maut Sumut hingga tuntas. Polisi terus memburu mereka yang terlibat, baik aktor di belakang maupun pelaku di lapangan. Sampai kemarin sudah menetapkan 12 orang tersangka.Dan kemungkinan jumlah tersangka masih akan terus bertambah.
Demo pemekaran wilayah yang berlangsung beringas, liar sampai menewaskan Ketua DPRD Sumut itu memang sangat disesalkan. Peristiwa kekerasan dalam unjuk rasa menuntut pemekaran itu merupakan klimak dari aksi-aksi kekerasan yang selama ini sering menyertai proses menuntut pemekaran wilayah di berbagai daerah. Tak heran bila para pakar politik lokal dan otonomi daerah, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhono meminta ini dijadikan momentum untuk melakukan moratorium (menghentikan) pemekaran daerah baru.
Moratorium itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik. Dalam wawancara dengan stasiun televisi pasca insiden berdarah di DPRD Sumut, penggagas konsep Otonomi Daerah Prof Dr Ryass Rasyid juga mengatakan, pemekaran daerah baru selama ini sudah menyimpang dari semangat otonomi daerah. Tidak lagi didasarkan oleh kepentingan nasional, tetapi hanya berdasarkan kepentingan etnosentris daerah, elit-elit lokal untuk bisa mendapatkan jabatan di birokrasi dan jabatan politis dengan mengerahkan rakyat yang berbuntut pada konflik.
DPR sendiri mengakui, 80 persen dari pemekaran daerah dinilai gagal. Karena itu, kita mendukung langkah pemerintah untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru, apalagi tahun ini bangsa Indonesia sedang melaksanakan hajatan besar pemilu legislatif dan presiden. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 7 Februari 2009
Ironi Demokrasi yang Kebablasan
DEMONSTRASI ribuan warga Tapanuli menuntut pemekaran Tapanuli Utara menjadi provinsi terpisah dari Sumatera Utara di gedung DPRD Sumut di Medan Selasa kemarin berakhir tragis. Ketua DPRD Sumut H Abdul Aziz Angkat tewas dihakimi massa pengunjukrasa pro pembentukan provinsi Tapanuli Utara. Massa yang beringas mengusung sebuah peti mati merangsek masuk ke dalam ruangan rapat paripurna, tempat Aziz tengah memimpin rapat. Mereka mengejar, mengeroyok Aziz sambil mengobrak- abrik ruang rapat, membuat suasana tak terkendali.
Peristiwa unjuk rasa yang berubah aksi anarkis sampai menelan korban jiwa petinggi wakil rakyat Sumut itu sangat kita sesalkan. Apalagi saat itu pihak aparat kepolisian sepertinya kurang tanggap dalam mengantisipasi tindakan massa yang anarkis. Menurut pihak Rumah Sakit Gleneagles Medan meninggalnya Azis akibat serangan jantung.
Terlepas dari faktor penyebab kematian korban lebih pada serangan jantung, tetapi seperti terlihat di tayangan televisi, Aziz terlihat diserang massa sejak dari ruang rapat paripurna di lantai 2 sampai ia digelandang turun ke halaman gedung dewan oleh beberapa petugas DPRD dan polisi, korban mengalami pemukulan bertubi-tubi.
Kalau pun alasan medis meninggalnya Aziz lebih disebabkan oleh serangan jantung, ini tidak bisa dijadikan alasan untuk 'meringankan' tindakan penganiayaan tersebut. Penyakit jantung tidak bisa dijadikan alasan kematian untuk kejadian ini, bagaimanapun tewasnya almarhum Azis adalah akibat penganiayaan alias pembunuhan.
Apapun alasannya, aksi anarki berbuntut pembunuhan itu tidak bisa ditolerir. Pihak kepolisian harus menindak pihak-pihak yang terlibat langsung dalam aksi pembunuhan tersebut. Ini adalan tindak pidana. Karena bila tidak, ini akan menjadi preseden buruk. Orang menjadi tidak akan takut lagi berbuat anarkis saat menyalurkan aspirasi.
Falsafah demokrasi memang menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kritik termasuk lewat unjuk rasa, namun hendaknya dilakukan secara damai. Jangan sampai unjuk rasa berubah anarki. Karena ketika orang banyak berkumpul sebagai massa, suasana mudah berubah menjadi hiruk-pikuk, emosi, dan mudah tidak terkendali. Kepemimpinan model kerumuman ini potensial menimbulkan suasana chaos.
Azis telah korban dari kepemimpinan kerumunan. Kepemimpinan yang menghasilkan masyarakat kerumunan dengan ciri aura kemarahan, amuk, geram, dan kekerasan. Unjuk rasa yang kian marak dan disertai amuk massa belakangan ini memang dinilai telah banyak keluar dari rel demokrasi. Sebuah ironisme dari demokrasi.
Mengutip Sosiolog Michael Mafessoli, kepemimpinan kerumunan itu sangat potensial menimbulkan kerusuhan atau anarki. Di dalamnya acap terjadi keberingasan dan kemarahan akibat kepemimpinan kerumunan, yang umumnya lebih suka menghasut dan memotivasi bagi tindak kekerasan. Kerumunan massa dengan kepemimpinan kerumunan di dalamnya, jelas tidak bisa disebut demokrasi karena cenderung mengarah kekerasan.
Karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan hal ini. Apalagi, peristiwa tersebut terjadi menjelang pesta demokrasi pemilu yang akan dimulai dengan kampanye terbuka pengerahan massa mulai pertengahan Maret nanti. Pemilu tahun ini pun juga rawan mengingat banyaknya kepemimpinan kerumunan di Indonesia, yang gemar menggosok dan memprovokasi massa ke arah kekerasan.
Peristiwa tragis ini pun menjadi pengalaman berharga bagi korps kepolisian khususnya, dan juga para aktivis dan simpatisan parpol yang sebentar lagi akan melangsungkan pesta demokrasi pemilu. Jangan sampai kejadian di DPRD Sumut itu terulang lagi di tempat lain. Marilah kita berdemokrasi dengan cara-cara yang lebih beradab dan mengedepankan hati nurani, bukan okol, dan emosi. Perlu diingat, jika sampai terjadi kekerasan dan bentrokan, kekerasan itu terjadi di antara kita dan kita.(ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 4 Februari 2009
Peristiwa unjuk rasa yang berubah aksi anarkis sampai menelan korban jiwa petinggi wakil rakyat Sumut itu sangat kita sesalkan. Apalagi saat itu pihak aparat kepolisian sepertinya kurang tanggap dalam mengantisipasi tindakan massa yang anarkis. Menurut pihak Rumah Sakit Gleneagles Medan meninggalnya Azis akibat serangan jantung.
Terlepas dari faktor penyebab kematian korban lebih pada serangan jantung, tetapi seperti terlihat di tayangan televisi, Aziz terlihat diserang massa sejak dari ruang rapat paripurna di lantai 2 sampai ia digelandang turun ke halaman gedung dewan oleh beberapa petugas DPRD dan polisi, korban mengalami pemukulan bertubi-tubi.
Kalau pun alasan medis meninggalnya Aziz lebih disebabkan oleh serangan jantung, ini tidak bisa dijadikan alasan untuk 'meringankan' tindakan penganiayaan tersebut. Penyakit jantung tidak bisa dijadikan alasan kematian untuk kejadian ini, bagaimanapun tewasnya almarhum Azis adalah akibat penganiayaan alias pembunuhan.
Apapun alasannya, aksi anarki berbuntut pembunuhan itu tidak bisa ditolerir. Pihak kepolisian harus menindak pihak-pihak yang terlibat langsung dalam aksi pembunuhan tersebut. Ini adalan tindak pidana. Karena bila tidak, ini akan menjadi preseden buruk. Orang menjadi tidak akan takut lagi berbuat anarkis saat menyalurkan aspirasi.
Falsafah demokrasi memang menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kritik termasuk lewat unjuk rasa, namun hendaknya dilakukan secara damai. Jangan sampai unjuk rasa berubah anarki. Karena ketika orang banyak berkumpul sebagai massa, suasana mudah berubah menjadi hiruk-pikuk, emosi, dan mudah tidak terkendali. Kepemimpinan model kerumuman ini potensial menimbulkan suasana chaos.
Azis telah korban dari kepemimpinan kerumunan. Kepemimpinan yang menghasilkan masyarakat kerumunan dengan ciri aura kemarahan, amuk, geram, dan kekerasan. Unjuk rasa yang kian marak dan disertai amuk massa belakangan ini memang dinilai telah banyak keluar dari rel demokrasi. Sebuah ironisme dari demokrasi.
Mengutip Sosiolog Michael Mafessoli, kepemimpinan kerumunan itu sangat potensial menimbulkan kerusuhan atau anarki. Di dalamnya acap terjadi keberingasan dan kemarahan akibat kepemimpinan kerumunan, yang umumnya lebih suka menghasut dan memotivasi bagi tindak kekerasan. Kerumunan massa dengan kepemimpinan kerumunan di dalamnya, jelas tidak bisa disebut demokrasi karena cenderung mengarah kekerasan.
Karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan hal ini. Apalagi, peristiwa tersebut terjadi menjelang pesta demokrasi pemilu yang akan dimulai dengan kampanye terbuka pengerahan massa mulai pertengahan Maret nanti. Pemilu tahun ini pun juga rawan mengingat banyaknya kepemimpinan kerumunan di Indonesia, yang gemar menggosok dan memprovokasi massa ke arah kekerasan.
Peristiwa tragis ini pun menjadi pengalaman berharga bagi korps kepolisian khususnya, dan juga para aktivis dan simpatisan parpol yang sebentar lagi akan melangsungkan pesta demokrasi pemilu. Jangan sampai kejadian di DPRD Sumut itu terulang lagi di tempat lain. Marilah kita berdemokrasi dengan cara-cara yang lebih beradab dan mengedepankan hati nurani, bukan okol, dan emosi. Perlu diingat, jika sampai terjadi kekerasan dan bentrokan, kekerasan itu terjadi di antara kita dan kita.(ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 4 Februari 2009
Sikap KPU Membingungkan
MESKI sudah ada peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang pedoman teknis tata cara pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu legislatif, terutama terkait dengan penandaan surat suara, namun tetap saja KPU masih belum bisa bersikap tegas. Yang terjadi KPU justru seperti kebingungan sendiri, akibat terlalu banyak mengakomodir masukan-masukan yang muncul saat melakukan sosialisasi pemungutan suara dengan cara centang atau mencontreng (V) satu kali pada kolom nama partai atau kolom nama caleg atau kolom nomor caleg.
Kini, untuk yang kesekian kalinya KPU kembali merubah aturan main penandaan surat suara, seperti disampaikan anggota KPU, Andi Nurpati saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (2/2). Kalau sebelumnya mencoblos dinyatakan sah bila mencentang satu kali, kemudian diubah menjadi dua kali, KPU berencana merevisi lagi. Dalam aturan baru tersebut, KPU membolehkan pemilih mencentang (V), memberi tanda silang (X), mencoblos, atau dengan garis datar/strip (-). Keempatnya menjadi bagian sah dalam bangunan keabsahan surat suara.
Revisi UU No 35 itu untuk mengantisipasi kemungkinan para pemilih memberikan hak suara yang berbeda-beda. Sebab dalam simulasi pemungutan surat suara yang dilaksanakan KPU banyak didapatkan pemilih yang menggunakan tanda selain centang yakni silang dan garis datar. Hasil simulasi ini jadi pertimbangan KPU untuk merevisi pengaturan tentang penandaan. Namun, KPU tetap akan mensosialisasikan pada masyarakat cara mencontreng.
Di sisi lain KPU hingga kini masih menunggu Perpu yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, tentang penandaan 2 kali sebagai konsekuensi keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Artinya, kalau pemilihan dilakukan dengan menandai satu kali, dengan putusan MK itu, berarti agar suara dianggap sah, pemilih harus mencentang nama caleg. Sehingga harus dilakukan centang dua kali, di lambang partai politik dan nama caleg.
Rencana KPU menerapkan keempat cara penandaan keabsahan suara ini mendapat tentangan dari mantan Ketua Pansus RUU Pemilu legislatif dan RUU Pilpres, Ferry Mursidan Baldan. Ferry meminta KPU sebagai penyelenggara Pemilu merujuk pada UU semula saja. Jangan karena beberapa sosialisasi yang dilakukan kemudian ingin ada perubahan-perubahan lagi. Sekarang ini semuanya sudah harus final, karena kalau dirubah hanya membuat pemilu hiruk pikuk dengan menjadikan centang bukan satu-satunya tanda (suara sah).
Sikap KPU yang tidak tegas ini patut disayangkan. KPU pada awalnya terus-menerus mensosialisasikan penandaan satu kali pada surat suara, kemudian memutuskan penandaan dua kali, kali ini merevisi kembali dengan mensahkan penandaan surat suara sah, dengan cara mencoblos, mencentang, menyilang, atau memberi strip.
Ketidaksiapan KPU dengan aturan yang baku dan pasti tentu semakin membingungkan parpol. Bila KPU tidak segera menetapkan aturan yang baku dan terus menerus merubah aturan yang sudah diatur dalam UU maupun keputusan MK, dikhawatirkan akan memicu konflik internal dalam parpol, maupun antarparpol peserta pemilu.
Seharusnya, mengingat pelaksanaan pemilu legislatif 2009 tinggal 68 hari lagi, persoalan sistem pemberian suara ini semestinya sudah selesai, karena harus ada sosialisasi. Tetapi yang terjadi, KPU justru masih sibuk mencari rumusan penetapan sahnya suara dengan harapan bisa memuaskan semua pihak, kenyataannya justru semakin membingungkan parpol dan masyarakat. Situasi ini sesungguhnya hanya menunjukkan betapa sistem dibuat sedemikian rupa, bukan untuk memudahkan pemilih, tapi lebih kepada kepentingan para peserta, terutama yang memiliki kuasa untuk itu. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 3 Februari 2009
Kini, untuk yang kesekian kalinya KPU kembali merubah aturan main penandaan surat suara, seperti disampaikan anggota KPU, Andi Nurpati saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (2/2). Kalau sebelumnya mencoblos dinyatakan sah bila mencentang satu kali, kemudian diubah menjadi dua kali, KPU berencana merevisi lagi. Dalam aturan baru tersebut, KPU membolehkan pemilih mencentang (V), memberi tanda silang (X), mencoblos, atau dengan garis datar/strip (-). Keempatnya menjadi bagian sah dalam bangunan keabsahan surat suara.
Revisi UU No 35 itu untuk mengantisipasi kemungkinan para pemilih memberikan hak suara yang berbeda-beda. Sebab dalam simulasi pemungutan surat suara yang dilaksanakan KPU banyak didapatkan pemilih yang menggunakan tanda selain centang yakni silang dan garis datar. Hasil simulasi ini jadi pertimbangan KPU untuk merevisi pengaturan tentang penandaan. Namun, KPU tetap akan mensosialisasikan pada masyarakat cara mencontreng.
Di sisi lain KPU hingga kini masih menunggu Perpu yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, tentang penandaan 2 kali sebagai konsekuensi keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Artinya, kalau pemilihan dilakukan dengan menandai satu kali, dengan putusan MK itu, berarti agar suara dianggap sah, pemilih harus mencentang nama caleg. Sehingga harus dilakukan centang dua kali, di lambang partai politik dan nama caleg.
Rencana KPU menerapkan keempat cara penandaan keabsahan suara ini mendapat tentangan dari mantan Ketua Pansus RUU Pemilu legislatif dan RUU Pilpres, Ferry Mursidan Baldan. Ferry meminta KPU sebagai penyelenggara Pemilu merujuk pada UU semula saja. Jangan karena beberapa sosialisasi yang dilakukan kemudian ingin ada perubahan-perubahan lagi. Sekarang ini semuanya sudah harus final, karena kalau dirubah hanya membuat pemilu hiruk pikuk dengan menjadikan centang bukan satu-satunya tanda (suara sah).
Sikap KPU yang tidak tegas ini patut disayangkan. KPU pada awalnya terus-menerus mensosialisasikan penandaan satu kali pada surat suara, kemudian memutuskan penandaan dua kali, kali ini merevisi kembali dengan mensahkan penandaan surat suara sah, dengan cara mencoblos, mencentang, menyilang, atau memberi strip.
Ketidaksiapan KPU dengan aturan yang baku dan pasti tentu semakin membingungkan parpol. Bila KPU tidak segera menetapkan aturan yang baku dan terus menerus merubah aturan yang sudah diatur dalam UU maupun keputusan MK, dikhawatirkan akan memicu konflik internal dalam parpol, maupun antarparpol peserta pemilu.
Seharusnya, mengingat pelaksanaan pemilu legislatif 2009 tinggal 68 hari lagi, persoalan sistem pemberian suara ini semestinya sudah selesai, karena harus ada sosialisasi. Tetapi yang terjadi, KPU justru masih sibuk mencari rumusan penetapan sahnya suara dengan harapan bisa memuaskan semua pihak, kenyataannya justru semakin membingungkan parpol dan masyarakat. Situasi ini sesungguhnya hanya menunjukkan betapa sistem dibuat sedemikian rupa, bukan untuk memudahkan pemilih, tapi lebih kepada kepentingan para peserta, terutama yang memiliki kuasa untuk itu. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 3 Februari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)