RANCANGAN Undang-Undang Pornogrsi akhirnya disahkan DPR menjadi Undang-undang, kemarin. Keputusan diambil secara aklamasi setelah 8 fraksi menyetujui diundangkannya RUU tersebut. Namun pengesahan ini tetap saja mengundang pro dan kontra. Fraksi PDIP dan PDS tidak setuju dan meninggalkan ruangan tempat berlangsungnya rapat paripurna DPR.
FPDIP menilai RUU ini belum siap karena di daerah masih pro kontra. Terkesan ada kejar tayang. Padahal mestinya harus mempertimbangkan dan mengedepankan ke-Indonesiaan.
Bahkan sejumlah elemen masyarakat, termasuk LSM Prolegnas ProPerempuan, LBH, Konras, Elsam, Setara Institute mengatakan langsung menggugat UU Pornografi ini. Sebab dianggap masih banyak bermasalah.
Menteri Agama Maftuh Basyuni yang mewakili pandangan pemerintah mengatakan, RUU ini menunjukkan keprihatinan semua pihak terhadap degradasi moral bangsa yang disebabkan berbagai aspek terkait pornografi. Perbedaan pendapat yang terjadi selama proses pembahasan RUU adalah hal yang biasa dalam sebuah negara demokrasi. Dinamika perbedaan pendapat selama pembahasan merupakan cerminan dari demokrasi itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, RUU ini paling lama pembahasannya, dan paling banyak mengakomodasi aspirasi masyarakat. Bermula dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang ditentang keras oleh banyak kalangan, karena mengatur orang, mengatur penilaian dan perilaku yang menimbulkan gejolak. Kemudian atas masukan yang banyak dari masyarakat dan angota DPR oleh DPR diubah menjadi RUU Pornografi yang tidak lagi mengatur individu. Meski demikian, RUU ini masih menyisakan beberapa pasal krusial, terutama pasal-pasal tentang definisi pornografi dan alternatif pengaturan pasal seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan.
Misalnya tentang definisi pornografi, di dalam Pasal 1Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Seperti RUU lainnya, kelemahan RUU Pornografi umumnya hanya dipahami masyarakat lapisan atas, masyarakat perkotaan, serta elite politik, yang bisa menimbulkan multitafsir di masyarakat. RUU ini juga kurang disosialisasikan secara komprehensif dan menyeluruh di semua lapisan masyarakat hingga pedesaan. Karena itu, bila ada multitafsir, dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan sosial.
Sikap kontra yang berkembang di masyarakat saat ini, seperti Bali, Sulawesi Utara menolak RUU Pornografi, orang Papua khawatir budaya mereka tak lagi dianggap sebagai bagian dari kehidupan, atau kegiatan seniman takut terpasung. Semua itu merupakan akibat dari kurangnya definisi yang pasti tentang apa yang disebut porno.
Karena itu, seperti disampaikan politisi PKS sekaligus Ketua lembaga tertinggi negara MPR, Hidayat Nurwahid , yang diperlukan sekarang adalah mengomunikasikan kepada publik bahwa UU tersebut tidak dalam rangka memberangus kreasi seni, mengingkari Bhinneka Tunggal Ika, memberangus pakaian tradisional atau tari-tari tradisional, dan juga tidak dalam rangka memberi kebebasan bagi warga untuk melakukan anarki.
Sebaliknya, UU ini mengatur agar tidak ada anarki dalam perilaku warga terkait pornografi. Justru dalam rangka juga mewadahi agar Bhinneka Tunggal Ika, tradisi, seni, dan ekspresi kita tidak ditunggangi pornografi yang tidak sesuai dengan seni yang adalah keindahan itu sendiri.
Jadi, jangan sampai pasca diundangkannya UU Pornografi ini kemudian masyarakat mengambil tindakan sendiri-sendiri atau bersikap anarkis terhadap kegiatan masyarakat yang menurut penafsirannya melanggar UU Pornografi. Karena kita negara hukum, serahkan urusan pelanggaran terhadap UU Pornografi ini kepada lembaga-lembaga yang berwenang, khususnya aparat penegak hukum.
Di sisi lain, menjadi kewajiban pemerintah dan DPR untuk terus menerus mensosialisasikan UU Pornografi ini sehingga terjadi salah tafsir yang ujung-ujungnya akan menimbulkan kekacauan sosial dan perpecahan di tengah-tengah kemajemukan bangsa yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi keniscayaan (Sunatullah). Persoalan masih ada yang kontra terhadap UU ini, itulah cermin adanya demokrasi. (ahmad suroso)
Dimuat di Corner Tribun Batam, Jumat (31/10)
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar