BILA sudah masuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dijamin sangat kecil kemungkinan bakal lolos. Terakhir hal itu dibuktikan oleh Artalyta, penyuap Jaksa BLBI, Urip Tri Gunawan senilai Rp 6 miliar. Sang 'ratu' suap ini akhirnya divonis 6 tahun penjara karena tindakannya menyuap Urip, terkait penyelidikan Kejaksaan Agung pada kasus tindak pidana BLBI yang dilakukan BDNI (Sjamsul Nursalim).
Kini nasib Urip pun, bisa dipastikan setali tiga uang. Setelah dalam beberapa persidangan sebelumnya, sempat membantah sadapan rekaman pembicaraannya dengan Artalyta, yang berisi skenario apa yang harus mereka sampaikan di persidangan, akhirnya mengakui bahwa percakapan yang disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suaranya.
Hal itu setelah KPK mendatangkan Dr Joko Marjono, ahli dari ITB pada persidangan Tipikor dengan terdakwa Urip, Kamis (7/8). Menurut Joko, walaupun suaranya diubah-ubah, namum tip suaranya akan tetap. Atas kesaksian itu, Urip semula tidak mengakui. Tetapi akhirnya dia mengakui, "Ya, benar. Itu suara saya."
KPK sebagai lembaga hukum 'super bodi' melalui kewenangannya untuk melakukan penyadapan memang telah menunjukkan taringnya. Sepakterjang KPK dan lembaga Tipikor telah membuat para pejabat publik, anggota DPR/DPRD, pengusaha atau masyarakat yang terindikasi terlibat kasus korupsi atau penyuapan menjadi 'gerah'.
Tak terkecuali Aula Pohan, yang tak lain besan Presiden SBY dalam proses aliran Dana BI ke 52 anggota Komisi IX DPR. Mantan pejabat direksi BI ini harus berkali-kali datang ke KPK untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi kasus dugaan suap dana BI Rp 100 miliar ke Komisi IX DPR periode 1999-2004.
Bola panas kasus suap dana BI tersebut juga menyengat 52 mantan rekannya di Komisi IX DPR tersebut, setelah Hamka Yandhu 'menyanyi' bahwa semua anggota komisi IX menerima suap berkisar antara Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. Di antara mereka ada nama Pazkah Susetta (Kepala Bappenas) dan MS Kaban (Menhut).
Hamka dan teman-temannya diduga menerima suap dari Bank Indonesia terkait penyelesian BLBI dan juga pemulusan UU BI yang menjadikannya lembaga super independen. Tentu saja tuduhan ini membuat semua koleganya di Komisi IX DPR tersebut tak bisa tidur nyenyak.
Logikanya, bila semua tersangka dan atau terdakwa ini telah diputuskan bersalah, bagaimana dengan 'produk' terkaitnya? Misalnya, dalam kasus Artalyta -Urip, adanya suap membuat keputusan Kejagung yang menyatakan tidak adanya tindak pidana dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim menjadi kehilangan legitimasinya.
Meski Kejagung berapi-api menyatakan suap itu tak mempengaruhi hasil keputusan, namun pengakuan anggota tim jaksa di persidangan mengindikasikan Urip telah menggunakan pengaruhnya sebagai ketua Tim Pemeriksa untuk mengarahkan kesimpulan penyelidikan.
Logisnya, pemeriksaan kasus BLBI Sjamsul harus kembali dibuka, bahkan dari awal. Tindakan ini tak terhalangi meski Sjamsul disebut telah menerima Surat Keterangan Lunas. Soalnya, dalam SKL tersebut telah dinyatakan, surat tersebut dapat diperbaiki, diubah dan bahkan dibatalkan jika dikemudian hari ditemukan kekeliruan atau kesalahan dalam pembuatannya. (ahmad suroso)
* Dimuat di Tribun Corner, Jumat (08/08/2008)
Kamis, 07 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar