Selasa, 22 April 2008

UAN Meneror dan Mengikis Kejujuran Siswa

WASPADAI putra-putri kita, karena kian hari sistem pendidikan mengikis kejujuran anak-anak. Berkompetisi untuk mencari keunggulan menuju sebuah evaluasi tapi malah dirusak oleh kecurangan-kecurangan… !

Menarik apa yang diungkapkan Sumatera Barat Intelectual Society (SIS) seperti dilansir Minangkabau News.Com 6 April 2008 yang mencoba mengungkap fenomena kecurangan UAN (Ujian Akhir Nasional) tahun 2007. Yang dilakukan survey terhadap mahasiswa tahun satu di Kota Padang.

Survei ini adalah survei lapangan yang bersifat deskriptif dengan tujuan mengambarkan kenyataan di lapangan apa adanya. Survei ini ditujukan pada 100 orang mahasiswa tahun satu di Kota Padang dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).

Berikut ini dipaparkan temuan survei lapangan beserta analisisnya. Dari total 100 responden, 45 persen sebelum ujian dimulai telah mendapat bocoran soal dan 55 persen lagi tidak mendapat bocoran soal. Dari 45 persen yang mendapat bocoran soal , 9 persen diperoleh dari internet, 67 persen dari teman dan 24 persen dari guru. seterusnya Dari total 100 responden, 30 persen dalam UAN mendapat contekan dari guru dan 70 persen lagi tidak mendapat contekan dari guru.

Namun dalam UAN, teman juga sebagai dewa penyelamat menurut mereka, karena dari total 100 responden, 82 persen dapat contekan dari teman, dan 18 persen lagi tidak. Dalam UAN ada tempat-tempat strategis mereka memperoleh contekan, 43 persen tempatnya di lokal, 3 persen di kafe, 22 persen di WC, 17 persen via SMS, 1 persen lain-lain dan 14 persen tidak ada.

Selanjutnya ditanya lagi, ketika ketahuan ada yang mencontek apakah ada tindakan tegas dari pengawas, hanya 35 persen ada tindakan tegas dari pengawas, dan 65 persen lagi tidak ada tindakan tegas dari pengawas. Artinya membiarkan begitu saja.

Kemudian diketahui dari total 100 responden, ternyata 50 persen ada kesepakatan antara guru dengan teman agar lulus seratus persen dengan catatan harus saling membantu, dan 50 persen lagi tidak ada kesepakatan dengan teman dan guru. Terus ketika ditanya apakah UAN murni dikerjakan sendiri, 88 persen menyatakan tidak murni dia kerjakan sendiri, hanya 22 persen yang mengakui murni ujian dilakukan sendiri.


Ini adalah angka-angka yang cukup membuat kita terenyuh melihatnya, apakah kecemasan dari awal dan stres yang cukup tinggi dialami oleh siswa, orangtua serta guru bahkan pemerintah daerah juga ikut cemas, akan diselamatkan dengan cara-cara yang merusak. Jika memang ini adalah sebuah kompetisi menuju sebuah evaluasi, mengapa tidak membiarkan semua berjalan dengan normal.

Jelas sekali kecurangan itu, terlihat dari total 100 responden, 45 persen sebelum ujian dimulai sudah dapat bocoran soal, terus ada 70 persen dalam ujian mendapat contekan dari guru, selanjutnya dari total responden 82 persen dapat contekan dari teman. Lebih bahaya lagi 50 persen sudah ada kesepakatan sebelum ujian bersama pihak guru dengan siswa untuk saling membantu dalam ujian.

Bagaimana dengan pelaksanaan UAN SMA/SMK tahun 2008 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai Selasa sampai Kamis, 22-24 April? Informasi yang diperoleh dari seorang kepala lembaga bimbingan belajar/tes ternama di Batam, banyak siswa peserta UAN di Batam yang merasa tegang, cemas, sampai stres menghadapi UAN. Fenomena yang mirip-mirip hasil survey di Batam tersebut juga terjadi.

Apalagi bila mengingat standar kelulusannya dinaikkan dari 4,25 (tahun 2007) menjadi 5,25, dan mata pelajaran yang diujikan juga ditambah dari 3 menjadi 6 pada tahun ini. Artinya bila salah satu dari 6 mata pelajaran yang diujikan tidak mencapai angka minimal 5,25, maka otomatis dia tidak lulus alias harus tinggal kelas.

Yang menyedihkan, dari hasil try out dengan soal yang dibuat oleh pihak sekolah bekerja sama dengan sebuah lembaga pendidikan yang digelar beberapa hari sebelumnya di sejumlah sekolah di Batam rendah, tingkat kelulusan kurang dari 30 persen. Bandingkan dengan target yang dipatok sejumlah sekolah dan pihak Dinas Pendidikan Batam yang menargetkan tingkat kelulusan UAN minimal 80 persen. Disinilah peluang ketidakjujuran siswa, guru, dan pihak sekolah muncul.

Ini yang perlu diwaspadai. Karena, hasil penelitian itu menggambarkan bahwa tujuan dari Ujian Akhir Nasional untuk meningkatkan kualitas, sangat jauh dari tujuan peningkatan kualitas itu sendiri, malah yang terjadi adalah ketakutan dan pendistorsian tujuan itu sendiri. Artinya pendidikan bukan menjadikan seseorang itu cerdas, tapi menjadikan seseorang itu alat untuk dinilai dan dihargai.

Padahal menurut terminologi hukum yang dirumuskan Komisi Pemberantan Korupsi (KPK), budaya contek mencontek itu, entah itu dari catatan contekan sendiri, teman, guru itu, atau menyuap guru dengan membawa bingkisan agar nilai matematikanya jeblok didongkrak biar lulus itu termasuk korupsi. Yang dikorupsi, apalagi kalo bukan ilmu. Artinya, selagi masih sekolah, murid sudah dibiasakan untuk berperilaku yang tidak terpuji. Dari pola pikir kayak gini, bibit-bibit korupsi tumbuh dan mengganas di kemudian hari. Pantas saja korupsi merajalela di Indonesia.
Lalu terobosan pendidikan apa yang sebaiknya dilakukan, agar virus bibit budaya korupsi itu tidak berkembang di kalangan generasi muda? (ahmad suroso)

Tidak ada komentar: