Matur nuwun nggih Den!
SEPERTI bulan-bulan sebelumnya, saat saya pulang menengok keluarga tanggal 7-14 Januari 2008 kemarin-- teman-teman kantor menyebutnya S3/Sebulan Sekali Setor... hehehe-- di Yogyakarta, aku selalu menyempatkan mampir ke rumah kawan karib BSW Adjikoesoemo di rumahnya yang tergolong mewah di Perumahan elit Griya Mahkota, Jl Godean. Saya bilang mewah, karena rumahnya gabungan dari tiga kapling rumah berlantai dua, interior dalamnya perpaduan antara interior modern dengan klasik dihiasi ukir-ukiran kayu jati, termasuk pilar-pilar utama, dan plafon ruang tamu (seluas sekitar 15x10 meter).
Tidak mengherankan bila rumah Aji ini mirip keraton, karena lelaki yang sudah dikaruniai tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Evi ini memang masih keturunan priyayi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Adjikoesoemo adalah cucu BRAy Poedjokoesoemo, istri adik Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang memproduksi jamu tradisional khusus kecantikan dengan label "Sekar Mataram". Semua bangunan itu merupakan hasil keringatnya sendiri dari kesuksesan bisnisnya memproduksi jamu tradisional, dan menciptakan pengobatan herbal dan pupuk yang dipasarkan melalui sistem Multy Level Marketing.
Dalam kongkow kemarin ada satu cerita dia yang menggelitik saya untuk menuliskan pengalamannya. Saya tidak bermaksud menceritakan soal kekayaan dia, tetapi tekad Adji untuk melepaskan belenggu 'baju kepriyayiannya' sebagai keturunan keraton demi komitmennya supaya dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat secara egaliter , tanpa membedakan status sosial, dan membela nasib wong cilik.
Jebolan Fakultas Filsafat yang pada masa mudanya bertahun-tahun 'nyantri' di sejumlah pesantren ini mengaku tidak mudah untuk menghilangkan perasaannya bahwa dia adalah seorang priyayi. "Percaya nggak mas, kalau aku dulu pernah jadi kuli gendong di pasar Beringharjo," tutur Adji mengawali ceritanya.
Selama tiga bulan hampir setiap dinihari ia menuju ke pasar terbesar di kota Yogyakarta itu untuk menyamar menjadi buruh gendong mengangkut/menurunkan hasil bumi pesanan para bakul-bakul pasar dari atas truk atau pikap. Meskipun berminggu-minggu ia sudah menjalani pekerjaan sebagai buruh gendong ia mengaku tetap sulit melepaskan belenggu perasaan status sosialnya sebagai keturunan priyayi keraton.
"Ketika bertemu orang dalam hati kecil saya tetap tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa saya ini priyayi," aku Adji. "Tetapi perasaan bahwa saya ini priyayi hilang.seketika ketika suatu saat saya menerima upah dari seorang bakul uang 500 rupiah, dan saya bilang ke bakul yang memberi uang itu, 'matur nuwun nggih DEN' (terima kasih tuan) sambil membungkukkan badan," ucap Adji yang kesehariannya berpenampilan sederhana, berkaos oblong. Den adalah singkatan dari Raden, sebutan halus untuk menghormati keturunan keraton.
"Sejak itu hati saya merasa plong, bisa melepaskan diri (dari kesombongan) sebagai keturunan priyayi. Saya tak canggung lagi bergaul dengan semua lapisan masyarakat," ucap mantan aktifis mahasiswa yang pada awal-awal tahun 1990-an sering demo turun ke jalan, bahkan pernah disel di tahanan khusus Makorem Yogyakarta.
Perasaan yang diungkapkan oleh Adji ini bertolak belakang dengan mayoritas kaum priyayi yang menginginkan agar status kepriyayiannya diketahui oleh masyarakat luas. Bahkan tidak sedikit tokoh nasional yang berupaya dengan berbagai cara agar mendapatkan status priyayi atau minimal mendapatkan simbol-simbol 'keningratan' dengan membeli aset-aset milik keraton atau membangun kediamannya laksana keraton.
Salah satunya adalah Pak Harto, mantan presiden RI yang kini sedang berjuang melawan sakaratul maut dan menyedot perhatian dan energi petinggi pemerintahan, masyarakat dan pers yang memberikan porsi pemberitaan luar biasa pada saat-saat kritis penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, sehingga seolah-olah pemberitaan yang lain tidak dianggap penting.
Anak seorang petani dari Desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta itu setelah menjadi penguasa Orba berupaya dengan berbagai cara untuk meningkatkan derajat dirinya dari seorang rakyat biasa menjadi priyayi yang tidak kalah dengan mereka yang benar-benar berdarah priyayi Kraton. Soeharto dan adik tirinya, Probosutejo selain membangun beberapa Dalem seperti Dalem Kalitan, Astana Giri Bangun, juga membeli beberapa Dalem/rumah bangsawan Kraton Yogya dan Solo untuk dijadikan sebagai 'istana'nya. Jadilah dinasti Soeharto menjadi 'priyayi' baru yang disegani, 'disembah-sembah' oleh para kroninya sekaligus ditakuti.
Salahkah menjadi priyayi? Sama sekali tidak. Hanya saja jadilah priyayi yang rendah hati, bisa menjadi pengayom, pelindung rakyat, tahtanya untuk rakyat sebagaimana sudah dibuktikan oleh almarhum Sri Sultan HB IX. Lak mekaten Denmas Adji, eeh mas Adji he he he. (ahmad suroso)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Saya juga dekat dg beliau dan mbak evi istrinya ... Memang sederhana banget dan suka membantu orang lain. Saya termasuk yang banyak dibantu oleh beliau ... Semoga Gusti Allah memberikan berkahnya untuk mas adji dan keluarganya dengan berlimpah - limpah ... Aaminn, :)
Posting Komentar