Selasa, 29 Januari 2008

Potret Buruknya Birokrasi di Indonesia (2)



Jembatan Barelang karya peninggalan menristek Habibie yang menjadi landmark penting Kota Batam
Pemerintah Pusat Masih Setengah Hati

KELUHAN yang diungkapkan oleh para investor asing tentang Indonesia masih soal lama. Mulai dari sistem birokrasi yang berbelit, perpajakan termasuk visa on arrival yang berbelit, pekerja yang suka demo, banyaknya serikat pekerja, hingga UU ketenagakerjaan. Keluhan itu sering disampaikan ekspatriat dari berbagai negara, seperti Jerman, Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Singapura dan lainnya yang berada di Batam dan Bintan.
Kini PMA di Batam dan Bintan sangat menggantungkan harapannya pada segera tuntasnya regulasi yang mengatur SEZ BBK. Mereka tentu tidak bisa menunggu terlalu lama dalam ketidakpastian Pada akhirnya mereka harus menentukan pilihan apa harus terus di Batam atau keluar.
Kelambanan proses pembuatan payung hukum SEZ BBK merupakan salah satu contoh dari buruknya birokrasi pemerintahan di Indonesia. Apalagi bila Singapura sampai 'patah arang' , maka ini bisa mengurangi kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan wibawa pemerintah Indonesia di masa investor dunia. Soalnya, Singapura termasuk negara yang paling dipercaya oleh dunia internasional.
Itu baru di tingkat nasional. Di tingkat lokal, birokrasi setali tiga uang. Di Batam, misalnya, tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Sebut saja yakni penerapan konsep layanan perizinan satu atap (one stop service/OSS) yang sama sekali tak memberi nilai tambah pelayanan.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani nota kerjasama (MoU) pembangunan Provinsi Kepulauan Riau dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Batam awal 2007 lalu, SBY langsung memerintahkan menteri terkait, Wali Kota Batam dan Otorita Batam (OB) menghadirkan layanan perizinan satu atap (one stop service/OSS) dalam tempo 100 hari, pasca penandatangan kerjasama tersebut.
Perintah itu langsung direspon cepat oleh BKPM pusat, Imigrasi, Bea Cukai dan lembaga terkait lainnya. Kurang dari 100 hari, konter pelayanan sudah hadir di gedung promosi Sumatera (Sumatera Promotion Centre/SPC) yang ditetapkan sebagai tempat pelayanan terpadu (OSS).
Pada saat bersamaan, Pemko Batam dan OB juga merintis berbagai bentuk layanan perizinan yang terkait dua lembaga pemerintahan di Batam ini, di gedung yang sama.
Sejatinya, hadirnya OSS, investor yang mengurus izin investasi tak perlu lagi repot-repot ke Jakarta. Begitupun jika ingin mengurus administrasi tenaga kerja asing (TKA), cukup datang ke konter imigrasi di OSS.
Dalam dalam prakteknya, masih banyak pelaku usaha tetap harus melalui banyak pintu dan interval waktu penyelesaian perizinan cukup lama. Ada yang menilai, tempatnya saja yang satu atap, tapi penggodokan perizinan tetap di tempat lama, sehingga waktu penyelesaiannya juga lama.
Kemudian, OSS, menurut Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, tidak hanya untuk layanan investasi (usaha), tetapi juga akan menjadi pusat pelayanan kependudukan (KTP), akte kelahiran dan berbagai layanan publik lainnya. Dengan begitu, masyarakat bisa menghemat waktu, tenaga dan biaya, karena cukup datang satu tempat saja. Tetapi, lagi lagi dalam kenyataannya, rencana tinggal rencana. Harapan bisa mendapatkan layanan terpadu yang efektif dan efisien seperti pernah diwacanakan Wali Kota Batam sampai sekarang masih belum terwujud.

Mental Pangreh Praja
Bicara masalah birokrasi di Indonesia sekarang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh praktek birokrasi semasa orde baru. Birokrasi menjadi mesin politik, alat untuk mempertahankan kekuasaan.. Implikasinya, masyarakat harus membayar mahal untuk satu jenis layanan. Mulai dari ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab. Hal tersebut merupakan fakta empiris rusaknya birokrasi.
Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi.
Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah cenderung ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru.
Pemerintah pusat juga terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah. Ini juga bisa dilihat dalam kasus pembuatan regulasi SEZ BBK yang ditengarai terjadi tarik ulur kepentingan antara departemen terkait.
(ahmad suroso)

Tribun Batam Edisi Kamis, 30 Januari 2008

Tidak ada komentar: