RUU AP Spirit Baru Reformasi Birokrasi
Pejabat administrasi pemeritahan wajib memberikan akses dan kesempatan kepada pihak-pihak terlibat untuk melihat dokumen administrasi pemerintahan yang dapat mendukung kepentingannya
BAGAIMANAPUN, pelayanan publik yang baik dan masyarakat mendapatkan kepuasan dari pelayanan tersebut merupakan kata kunci dan tantangan birokrasi. Sebab dewasa ini, birokrasi berhadapan dengan mekanisme pasar yang bersifat terbuka, sebagai konsekuensi dari tuntutan zaman dalam era persaingan bebas.
Karena itu bila kita tidak ingin tertinggal dengan sepak terjang negara-negara jiran yang ekspansif dan terus memperbarui pelayanan yang terbaik untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka reformasi birokrasi menjadi suatu keniscayaan.
Untuk mempercepat reformasi birokrasi dan kelihatan hasilnya, maka birokrasi harus bekerja dengan skala prioritas, ukuran yang jelas, serta mengikuti tahapan yang telah ditetapkan.
Untuk mempercepat laju proses reformasi birokrasi kini pemerintah sudah merampungkan Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) yang segera diserahkan pemerintah ke DPR. Kini RUU AP telah masuk dalam program legislasi nasional yang menunjukkan keseriusan para wakil rakyat untuk melakukan percepatan reformasi birokrasi.
RUU AP inilah yang nantinya akan dipakai sebagai dasar hukum bagi pejabat administrasi pemerintahan dalam menetapkan tindakan dan keputusan. Artinya semua tindakan dan keputusan pejabat badan administrasi pemerintahan harus memikiki dasar hukum dan tidak didasarkan pada kewenenang-wenangan serta menyalahgunakan wewenang.
Oleh karena itu, jika RUU AP ini telah ditetapkan menjadi UU-AP, pejabat administrasi pemerintahan harus melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam setiap tindakan dan keputusan di bidang administrasi.
Pedoman dasar dalam proses pengambilan tindakan dan keputusan pejabat/badan tersebut antara lain, wajib menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai tugas dan kewenangannya, dan melindungi, mendengar pendapat dan tidak merugikan hal-hak perorangan.
Beberapa instrumen yang secara substantif menjadi dasar reformasi birokrasi dalam RUU-AP adalah upaya untuk menghindari conflct of interest (pasal 12,13,14), menerapkan prinsip-prinsip partisipasi (pasal 19), menciptakan transparansi (pasal 20), dan membatasi kewenangan diskresi pejabat.
Pelaksanaan UU AP ini juga mensyaratkan adanya reformasi dalam bidang kepegawaian. Tetapi yang terpenting, sebaik apapun RUU-AP dirumuskan, masih membutuhkan dukungan semua pihak, baik dalam proses perumusan, pembahasan di DPR. dan proses pelaksanaannya.
Karena RUU-AP ini memiliki dimensi perubahan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menutup peluang korupsi, kolusi dan nepotisme yang sampai kini masih menjadi budaya birokrasi di Indonesia yang sulit dihilangkan.
Bagian terpenting dari UU ini adalah pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang menjadi hak, wewenang, kewajiban dan tanggungjawab yang wajib dijalankan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Di sini diatur soal 20 asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas dimaksud terdiri atas, asas kepastuan hukum, asas keseimbangan, kesamaan, kecermatan, motivasi, asas tiak melampaui dan atau mencampuradukkan kewenangan, bertindak yang wajar, keadilan, kewajaran dan kepatutan, asas menanggapi pengharapan yang wajar atau azas menepati janji, asas meniadakan akibat-akibat suat keputusan yang batal atau dibatalkan, asas perlindungan atas pandangan hidup dan atau kehidupan pribadi, asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, keterbukaan, asas proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas, kepentingan, efisien dan asas efektifitas.
RUU AP ini tampaknya cukup responsif terhadap tuntutan publik. Terbukti dengan dimasukkannya pasal (20) yang mengatur Hak Melihat Dokumen Administrasi. Di situ ditegaskan, pejabat administrasi pemeritahan wajib memberikan akses dan kesempatan kepada pihak-pihak terlibat untuk melihat dokumen administrasi pemerintahan yang dapat mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan.
Diharapkan dengan diundangkannya RUU-AP ini nanti, tujuan untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, meningkatkan kualitas pelayanan administrasi pemerintah, dan mempercepat proses pemberantasan KKN dalam birokrasi dalam dapat tercapai. Sehingga cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat dapat terealisasi.
Selain itu, dengan dijiwai semangat reformasi birokrasi sebagaimana tertuang di dalam Undang- undang Administrasi Pemerintahan semoga benang kusut birokrasi yang menghambat finalisasi regulasi yang mengatur SEZ BBK cepat terurai, sehingga regulasi yang mengatur kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas itu dapat secepatnya selesai dan bisa diemplementasikan. (Ahmad Suroso)
Rabu, 30 Januari 2008
Selasa, 29 Januari 2008
Potret Buruknya Birokrasi di Indonesia (2)
Jembatan Barelang karya peninggalan menristek Habibie yang menjadi landmark penting Kota Batam
Pemerintah Pusat Masih Setengah Hati
KELUHAN yang diungkapkan oleh para investor asing tentang Indonesia masih soal lama. Mulai dari sistem birokrasi yang berbelit, perpajakan termasuk visa on arrival yang berbelit, pekerja yang suka demo, banyaknya serikat pekerja, hingga UU ketenagakerjaan. Keluhan itu sering disampaikan ekspatriat dari berbagai negara, seperti Jerman, Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Singapura dan lainnya yang berada di Batam dan Bintan.
Kini PMA di Batam dan Bintan sangat menggantungkan harapannya pada segera tuntasnya regulasi yang mengatur SEZ BBK. Mereka tentu tidak bisa menunggu terlalu lama dalam ketidakpastian Pada akhirnya mereka harus menentukan pilihan apa harus terus di Batam atau keluar.
Kelambanan proses pembuatan payung hukum SEZ BBK merupakan salah satu contoh dari buruknya birokrasi pemerintahan di Indonesia. Apalagi bila Singapura sampai 'patah arang' , maka ini bisa mengurangi kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan wibawa pemerintah Indonesia di masa investor dunia. Soalnya, Singapura termasuk negara yang paling dipercaya oleh dunia internasional.
Itu baru di tingkat nasional. Di tingkat lokal, birokrasi setali tiga uang. Di Batam, misalnya, tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Sebut saja yakni penerapan konsep layanan perizinan satu atap (one stop service/OSS) yang sama sekali tak memberi nilai tambah pelayanan.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani nota kerjasama (MoU) pembangunan Provinsi Kepulauan Riau dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Batam awal 2007 lalu, SBY langsung memerintahkan menteri terkait, Wali Kota Batam dan Otorita Batam (OB) menghadirkan layanan perizinan satu atap (one stop service/OSS) dalam tempo 100 hari, pasca penandatangan kerjasama tersebut.
Perintah itu langsung direspon cepat oleh BKPM pusat, Imigrasi, Bea Cukai dan lembaga terkait lainnya. Kurang dari 100 hari, konter pelayanan sudah hadir di gedung promosi Sumatera (Sumatera Promotion Centre/SPC) yang ditetapkan sebagai tempat pelayanan terpadu (OSS).
Pada saat bersamaan, Pemko Batam dan OB juga merintis berbagai bentuk layanan perizinan yang terkait dua lembaga pemerintahan di Batam ini, di gedung yang sama.
Sejatinya, hadirnya OSS, investor yang mengurus izin investasi tak perlu lagi repot-repot ke Jakarta. Begitupun jika ingin mengurus administrasi tenaga kerja asing (TKA), cukup datang ke konter imigrasi di OSS.
Dalam dalam prakteknya, masih banyak pelaku usaha tetap harus melalui banyak pintu dan interval waktu penyelesaian perizinan cukup lama. Ada yang menilai, tempatnya saja yang satu atap, tapi penggodokan perizinan tetap di tempat lama, sehingga waktu penyelesaiannya juga lama.
Kemudian, OSS, menurut Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, tidak hanya untuk layanan investasi (usaha), tetapi juga akan menjadi pusat pelayanan kependudukan (KTP), akte kelahiran dan berbagai layanan publik lainnya. Dengan begitu, masyarakat bisa menghemat waktu, tenaga dan biaya, karena cukup datang satu tempat saja. Tetapi, lagi lagi dalam kenyataannya, rencana tinggal rencana. Harapan bisa mendapatkan layanan terpadu yang efektif dan efisien seperti pernah diwacanakan Wali Kota Batam sampai sekarang masih belum terwujud.
Mental Pangreh Praja
Bicara masalah birokrasi di Indonesia sekarang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh praktek birokrasi semasa orde baru. Birokrasi menjadi mesin politik, alat untuk mempertahankan kekuasaan.. Implikasinya, masyarakat harus membayar mahal untuk satu jenis layanan. Mulai dari ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab. Hal tersebut merupakan fakta empiris rusaknya birokrasi.
Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi.
Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah cenderung ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru.
Pemerintah pusat juga terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah. Ini juga bisa dilihat dalam kasus pembuatan regulasi SEZ BBK yang ditengarai terjadi tarik ulur kepentingan antara departemen terkait.
(ahmad suroso)
Tribun Batam Edisi Kamis, 30 Januari 2008
Potret Buruknya Birokrasi di Indonesia (1)
MOU RI-SINGAPURA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsie Loong saat menandatangani nota kesepahaman MoU sebagai Steering Comitte Joint Working Government Free Trade Zone Batam Bintan Karimun pada Juni 2006 lalu di Batam.
SEZ di Awang-awang, Singapura 'Patah Arang'
SEBUAH rumor kini beredar di kalangan pengusaha dan birokrat di Provinsi Kepulauan Riau, wilayah di mana tiga dari enam daerahnya, yakni Kota Batam, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun, akan dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone Batam Bintan Karimum (SEZ BBK) sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
Rumor yang berkembang, Pemerintah Singapura yang bertindak sebagai Steering Comitte Joint Working Government Free Trade Zone Batam Bintan Karimun, semacam pengarah atau pembimbing penerapan SEZ BBK dikabarkan 'patah arang' dengan terkatung-katungnya SEZ BBK. Negeri 'Merlion" itu berencana mundur dari joint working agreement (JWA) dengan Indonesia untuk mempersiapkan Free Trade Zone.BBK.
Bisa saja Singapura tak sabar melihat lambatnya birokrasi di Indonesia mempersiapkan payung hukum SEZ BBK. Karena seperti kita ketahui, Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Singapura untuk mengembangkan daerah Batam, Bintan, dan Karimun sebagai kawasan SEZ itu sudah sejak Juni 2006 lalu, ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Perdana Menteri Singapura, Lee Hsie Loong di Batam. Peran Singapura bertugas membantu merumuskan dan melaksanakan SEZ di tiga wilayah tersebut.
Lamban dan tidak konsistennya birokrasi di Indonesia, khususnya pemerintah pusat didalam menyiapkan payung hukum SEZ BBK itu bisa dilihat dari janji-janji yang tidak ditepati. Saat penandatangan MOU dengan Singapura, Presiden SBY berjanji dalam 100 hari, regulasi yang mengatur SEZ sudah bisa kelar.
Tetapi faktanya, hingga sekarang payung hukum SEZ tak kunjung usai. Setelah UU tentang SEZ selesai beberapa bulan lalu, disusul finalisasi pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Dewan Kawasan dan Dewan Pengusahaan Daerah, kini muncul lembaga baru lalu yang sebenarnya tidak diatur didalam UU SEZ, yakni Dewan Nasional yang akhir Januari 2008 ini Perpresnya masih digodok di Sekretariat. .
Sebenarnya pengusaha dan birokrat di di Provinsi Kepri, juga Batam, Bintan, dan Karimun sudah puluhan kali mengirim surat ke Presiden dan mengirim surat dan bertemu Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menko Perekonomian Boediono, atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi. Mereka mendesak agar aturan SEZ segera diselesaikan, termasuk menyampaikan keluhan investor luar negeri.
General Manager (Corporate) Batamindo Investment Cakrawala Dr John Sulistiawan pada penulis dan empat wartawan media lokal di Kepri saat diundang Kementerian Penerangan dan Perhubungan Singapura awal Februari 2007 lalu juga sudah mengungkapkan kegamangannya . "Kita sudah tulis surat berkali-kali ke Presiden SBY, Menteri Perdagangan Mari Pangestu, Menko Perekonomian Boediono. Pak Lutfi, ketua BKPM sebenarnya juga sudah tahu permasalahan yang dihadapi investor di Batam. Tapi tetap saja aturan SEZ tidak jadi-jadi," cetus John Sulistiawan.
Waktu itu John melontarkan kekhawatirannya, tiadanya kejelasan wujud konkret aturan SEZ akan memicu para investor asing hengkang dari Batam. Kekhawatiran itu belakangan menjadi kenyataan. Ada beberapa PMA di Batam dan Bintan menutup usahanya dan mengalihkan pabriknya ke negara lain, seperti Malaysia, Cina, dan Vietnam yang dipandang lebih kondusif untuk investasi. (ahmad suroso)
* Tribun Batam edisi Rabu, 29 Januari 2008
* Naskah untuk Lomba Penulisan Karya Jurnalistik: "UU Administrasi Pemerintahan dapat Mendorong Reformasi Birokrasi di Indonesia", Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Kamis, 17 Januari 2008
Pepeling untuk Anakku (2)
Nasihat Luqman untuk Anaknya
Di dalam tulisan sebelumnya, sudah saya kutip Pepeling untuk Anakku yang ditulis oleh BSW Adjikoesoemo di rumahnya yang lebih mirip istana. Tulisan itu dibuat Adji untuk pepeling, mengingatkan kepada ketiga putrinya yang saat ini masih kecil. Sulungnya masih kelas dua SD, yang bungsu masih di playgroup.
Tanbeh atau pengingat yang ditulis sohib Adji tersebut mengingatkan saya pada nasihat Luqman Hakim yang hidup di zamannya Nabiyulloh Dawud As. Dalam kitab "Al Munabbihat Lil isti'aadi Liyaumil Ma'aad (Pengingat untuk persiapan hari kiamat) yang disusun oleh Syihabuddin Ahmad dijelaskan pada suatu saat Luqman memanggil anaknya untuk dinasihati.
Bunyi nasihat Luqman itu, "Wahai anakku sesungguhnya pada manusia itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1 Sepertiga bagi Allah, 2. Sepertiga bagi dirinya sendiri, 3. Sepertiga untuk ulat- ulat/blatung."
Marilah kita selami nasihat luqman yang kata-katanya mengandung hikmah-hikmah yang sangat dalam sehingga ia mendapat julukan Al Hakim dan namanya diabadikan menjadi sebuah surat dalam Alquran (surat ke-31). Mengingat pembahasan disini lebih banyak mengupas makna batin, mungkin agak sedikit berat untuk memahaminya.
1. Sepertiga untuk ulat-ulat.
Yang dimaksud sepertiga untuk ulat yaitu 7 unsur jasmani (bulu, kulit, daging, darah, otot, tulang, sumsum) adalah bagiannya blatung dalam tanah. Dalam Alquran diterangkan bahwa manusia itu diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan ke induknya yaitu tanah. Dan dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa tanah itu adalah ibumu. Jadi kita akan dikembalikan ke ibu kita. "Dari bumi Aku ciptakan kamu semua dan kepada bumi Aku kembalikan kamu semua (Toha/S.20/55).
Jadi, ingatlah bumi itu adalah ibumu yang akan menceriterakan semua apa yang kamu berbuat, kembali kepada induknya, itulah jasmani. Makanya Sang Maha Pencipta memerintahkan kamu untuk menghormati ibumu, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi (S Al Arof, ayat 56))"
Kata ibumu (bumi), "Kamu dulu suci tak berdosa, sekarang kamu kembali kepadaku. Dan dulu kamu berbuat jahat berada di punggungku berani terhadap Allah, kau diberi nikmat tidak syukur, diberi kekuatan katamu itu kekuatanmu sendiri"..
2. Sepetiga bagi manusia
Bagian sepertiga yang kembali ke manusia itu amalnya dan hanya inilah yang dimiliki oleh manusia nanti di akherat. Dalam surat Hamim Assajadah, Alloh berfirman, "barang siapa yang beramal baik itu untuk (kembali) pada dirinya sendiri dan barang siapa yang durhaka maka durhakanya menimpa atas dirinya sendiri. Tuhanmu tidak menganiaya kepada hambanya".
Semua amal sholeh (amal yang baik, yang indalloh, yang mukhlis) seperti amal syukur, sabar, sholat, zakat dan lainnya maupun amal buruk semuanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Kecuali masalah puasa. Sebab puasa sudah diklaim oleh Alloh ta'ala :"Puasamu itu untuk Aku, selainnya ambillah".
Jadi apakah kita itu memilih kenikmatan (yang ditimbulkan dari amal sholeh) atau kesengsaraan (dari amal buruk), semua terserah kita, kita punya akal untuk memilih. Lainnya tidak ada yang bisa dimiliki (karena ruh sudah menjadi hak Alloh, sedangkan dunia harus ditinggalkan).
Jadi jelas sudah bahwa kesempatan kita untuk beramal saleh, sebagai satu-satunya yang akan kita miliki di akherat, hanyalah waktu di dunia ini, maka kita harus cepat-cepat beramal saleh. Di akherat sudah tidak ada ibadah lagi, tidak ada sholat, zakat, puasa, haji dan seterusnya.
3. Sepertiga bagi Allah
Yang dimaksud 1/3 bagi Allah itu ruh. Ruh lah yang akan kembali kepada Allah. Nah sebelum jasmani berpisah dengan ruh, kita harus berusaha mengetahui sempurnanya mati. Hidupnya ruh di dunia itu ibarat air yang turun dari langit sebagaimana firman Allah S Yunus ay 24, "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit".
Air yang turun dari langit sebelum menyentuh bumi adalah air suci bersih, setelah menyentuh tanah lalu berjalan jauh campur dengan bermacam-macam kotoran, ada yang melalui sungai- sungai besar, sungai-sungai kecil. Begitu juga dengan ruhani, ini sama dengan bumimu, Disitu larut macam-macam dosa.Ada yang lewat sungai mata, sungai kuping, sungai tangan, sungai kaki, sungai lisan. Yang melalui sungai lisan inilah yang paling banyak dilewati dosa, wujud bisa mengguncing, memfitnah, berkata kotor.
Mengingat masalah ruh adalah masalah yang sangat rumit, kita dilarang membahas zat ruh. Imam Al Ghozali di dalam kitab Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa yang diperbolehkan hanyalah membahas sifat-sifatnya ruh. Seperti halnya kita dilarang berfikir tentang zat Allah, tapi tidak dilarang berpikir tentang sifat-sifat Allah, seperti sifat Rohman, Rohim, Adil dsb..
Rasululloh saw bersabda: "berpikirlah kamu tentang nikmat Allah tapi jangan kamu berfikir tentang zat Allah".. Jadi mengingat fikiran itu tidak mungkin mampu berfikir tentang zat Allah dan kalau dipaksakan akan rusak, maka janganlah kita memikirkan zat Allah. Karena sebagaimana firman Allah, "Amruhu min amri Robbii" (Ruh itu termasuk urusan Tuhanku".
Inilah sedikit makna yang bisa saya ambil dari pesan yang ditulis sohib saya, "Pepeling untuk Anakku" yang dipahatkan di batu marmer di rumahnya.
Semoga hati kita dibukakan untuk bisa mengambil hikmah dari pepeling di atas. Amin. (ahmad suroso)
Rabu, 16 Januari 2008
Pepeling untuk Anakku
Pepeling untuk Anakku
Ketahuilah anak-ku
Rumah ini rumah singgah
Kuburan adalah rumah abadimu
dimana blatung akan menggerogoti jasadmu
Keelokan tubuhmu pun kini hanya TONG-TAI yang berjalan
Reputasimu, kebanggaanmu, kemegahanmu & kesombonganmu
hanya menggelapkan mata batinmu dari memandang Allah
Ingatlah anak-ku
Setiap debu dari nafas kehidupan rumah ini
ada hitungan di hadapan-Nya
Semua dipertanggungjawabkan
Jadi setiap laku lampah hidup ini
hanya sebagai sarana mengabdi
berjalan melaksanakan "Darmaning Satrio"
Batu ini keras anak-ku
namun dapat dipahat indah penuh tuah
jangan hatimu lebih keras dari batu ini
Cukup batu nisan indah yang tak bisa dipakai si empunya ini
sebagai "kaca benggolo" bagi hatimu
Yogya, 28 Mei 2007
Bapakmu
BSW Adjikoesoemo
Bait demi bait tulisan penuh makna itu terpahat pada Tetenger terbuat dari batu marmer berbentuk kotak bersegi panjang lebar 70 cm, tinggi satu tengah meter yang ditaruh di pojok ruang tamu rumah Adjiekoesoemo di perumahan Griya Mahkota, Jl Godean Yogyakarta. Di sisi sebelah kiri batu tersebut terdapat tulisan:
Cherrie Wijnschenk
Geb, 9 Juni 1857
Overl, 31 December 1934
Cherrie Wijnschenk inilah si empunya tetenger terbuat dari marmer, seorang warga Belanda yang tidak sempat memakai batu nisan tersebut untuk pusaranya. Justru Adji-lah yang berhasil memanfaatkan batu tersebut sebagai pepeling atau pengingat untuk anak-anaknya bahwa semua kekayaan, harta benda yang dimilikinya hanya sebagai alat untuk mengabdi kepada Sang Khalik, bukan sebagai tujuan.
"Dalam ceramah2 agama saya sering bilang bahwa kita umat Islam perlu kaya, termasuk sufi pun harus kaya. Tapi sekali-kali tidak boleh hati kita tertambat pada harta kekayaan kita. Nah supaya tidak dibilang 'jarkoni' (isa ngajari ora bisa nglakoni/bisa mengajari tetapi tidak bisa menjalani) maka saya ingin membuktikan saya pun juga bisa kaya. Tapi tujuan kita hidup bukan itu, melainkan hanya sebagai alat untuk berjihad di jalan Allah," kilah Adji suatu ketika pada penulis. Memang setiap malam Rabu dan Jumat, Adji selalu memimpin zikir yang diawali dengan memberi taushiyah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan amalan tasawuf.
Saya jadi teringat pada guru ruhaniku, seorang mursid thoriqoh di Jatim yang selalu menekankan pada jutaan murid-muridnya untuk untuk selalu memperbanyak mengingat Allah, dzikron katsiron, menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani, antara syariat dan hakekat, antara dhohir dan batin, antara fikir dan rasa, antara aqal dan qalbu, antara iman dan kemanusiaan untuk menuju sempurnanya hidup.
Selama ini mungkin masih banyak orang awam yang berpikir bahwa tasawuf hanya memikirkan akhirat dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi/fana. Mereka pekerjaannya hanya berzikir, munajat terus pada Allah agar dapat makrifatullah. Namun pikiran itu tidaklah benar. Karena, paling tidak yang saya lihat sendiri, guru saya meskipun dikenal sebagai mursid tasawuf tetapi juga memiliki kekayaan yang nilainya mungkin ratusan miliar rupiah, mulai dari aset gedung- gedung di pondok pesantrennya yang luasnya mencapai puluhan hektar sampai menjadi komisaris di beberapa perusahaan, termasuk perusahaan Mitra Sigaret PT HM Sampurna. Di Cilegon konon juga ada seorang mursid thoriqoh yang memiliki perusahaan baja bernilai triliunan.
Lalu makna apa yang bisa dipetik dari "pepeling" yang dibuat oleh Adjikoesoemo? (ahmad suroso/bersambung).
Ketahuilah anak-ku
Rumah ini rumah singgah
Kuburan adalah rumah abadimu
dimana blatung akan menggerogoti jasadmu
Keelokan tubuhmu pun kini hanya TONG-TAI yang berjalan
Reputasimu, kebanggaanmu, kemegahanmu & kesombonganmu
hanya menggelapkan mata batinmu dari memandang Allah
Ingatlah anak-ku
Setiap debu dari nafas kehidupan rumah ini
ada hitungan di hadapan-Nya
Semua dipertanggungjawabkan
Jadi setiap laku lampah hidup ini
hanya sebagai sarana mengabdi
berjalan melaksanakan "Darmaning Satrio"
Batu ini keras anak-ku
namun dapat dipahat indah penuh tuah
jangan hatimu lebih keras dari batu ini
Cukup batu nisan indah yang tak bisa dipakai si empunya ini
sebagai "kaca benggolo" bagi hatimu
Yogya, 28 Mei 2007
Bapakmu
BSW Adjikoesoemo
Bait demi bait tulisan penuh makna itu terpahat pada Tetenger terbuat dari batu marmer berbentuk kotak bersegi panjang lebar 70 cm, tinggi satu tengah meter yang ditaruh di pojok ruang tamu rumah Adjiekoesoemo di perumahan Griya Mahkota, Jl Godean Yogyakarta. Di sisi sebelah kiri batu tersebut terdapat tulisan:
Cherrie Wijnschenk
Geb, 9 Juni 1857
Overl, 31 December 1934
Cherrie Wijnschenk inilah si empunya tetenger terbuat dari marmer, seorang warga Belanda yang tidak sempat memakai batu nisan tersebut untuk pusaranya. Justru Adji-lah yang berhasil memanfaatkan batu tersebut sebagai pepeling atau pengingat untuk anak-anaknya bahwa semua kekayaan, harta benda yang dimilikinya hanya sebagai alat untuk mengabdi kepada Sang Khalik, bukan sebagai tujuan.
"Dalam ceramah2 agama saya sering bilang bahwa kita umat Islam perlu kaya, termasuk sufi pun harus kaya. Tapi sekali-kali tidak boleh hati kita tertambat pada harta kekayaan kita. Nah supaya tidak dibilang 'jarkoni' (isa ngajari ora bisa nglakoni/bisa mengajari tetapi tidak bisa menjalani) maka saya ingin membuktikan saya pun juga bisa kaya. Tapi tujuan kita hidup bukan itu, melainkan hanya sebagai alat untuk berjihad di jalan Allah," kilah Adji suatu ketika pada penulis. Memang setiap malam Rabu dan Jumat, Adji selalu memimpin zikir yang diawali dengan memberi taushiyah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan amalan tasawuf.
Saya jadi teringat pada guru ruhaniku, seorang mursid thoriqoh di Jatim yang selalu menekankan pada jutaan murid-muridnya untuk untuk selalu memperbanyak mengingat Allah, dzikron katsiron, menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani, antara syariat dan hakekat, antara dhohir dan batin, antara fikir dan rasa, antara aqal dan qalbu, antara iman dan kemanusiaan untuk menuju sempurnanya hidup.
Selama ini mungkin masih banyak orang awam yang berpikir bahwa tasawuf hanya memikirkan akhirat dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi/fana. Mereka pekerjaannya hanya berzikir, munajat terus pada Allah agar dapat makrifatullah. Namun pikiran itu tidaklah benar. Karena, paling tidak yang saya lihat sendiri, guru saya meskipun dikenal sebagai mursid tasawuf tetapi juga memiliki kekayaan yang nilainya mungkin ratusan miliar rupiah, mulai dari aset gedung- gedung di pondok pesantrennya yang luasnya mencapai puluhan hektar sampai menjadi komisaris di beberapa perusahaan, termasuk perusahaan Mitra Sigaret PT HM Sampurna. Di Cilegon konon juga ada seorang mursid thoriqoh yang memiliki perusahaan baja bernilai triliunan.
Lalu makna apa yang bisa dipetik dari "pepeling" yang dibuat oleh Adjikoesoemo? (ahmad suroso/bersambung).
Selasa, 15 Januari 2008
Sulitnya Menanggalkan Status Priyayi
Matur nuwun nggih Den!
SEPERTI bulan-bulan sebelumnya, saat saya pulang menengok keluarga tanggal 7-14 Januari 2008 kemarin-- teman-teman kantor menyebutnya S3/Sebulan Sekali Setor... hehehe-- di Yogyakarta, aku selalu menyempatkan mampir ke rumah kawan karib BSW Adjikoesoemo di rumahnya yang tergolong mewah di Perumahan elit Griya Mahkota, Jl Godean. Saya bilang mewah, karena rumahnya gabungan dari tiga kapling rumah berlantai dua, interior dalamnya perpaduan antara interior modern dengan klasik dihiasi ukir-ukiran kayu jati, termasuk pilar-pilar utama, dan plafon ruang tamu (seluas sekitar 15x10 meter).
Tidak mengherankan bila rumah Aji ini mirip keraton, karena lelaki yang sudah dikaruniai tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Evi ini memang masih keturunan priyayi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Adjikoesoemo adalah cucu BRAy Poedjokoesoemo, istri adik Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang memproduksi jamu tradisional khusus kecantikan dengan label "Sekar Mataram". Semua bangunan itu merupakan hasil keringatnya sendiri dari kesuksesan bisnisnya memproduksi jamu tradisional, dan menciptakan pengobatan herbal dan pupuk yang dipasarkan melalui sistem Multy Level Marketing.
Dalam kongkow kemarin ada satu cerita dia yang menggelitik saya untuk menuliskan pengalamannya. Saya tidak bermaksud menceritakan soal kekayaan dia, tetapi tekad Adji untuk melepaskan belenggu 'baju kepriyayiannya' sebagai keturunan keraton demi komitmennya supaya dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat secara egaliter , tanpa membedakan status sosial, dan membela nasib wong cilik.
Jebolan Fakultas Filsafat yang pada masa mudanya bertahun-tahun 'nyantri' di sejumlah pesantren ini mengaku tidak mudah untuk menghilangkan perasaannya bahwa dia adalah seorang priyayi. "Percaya nggak mas, kalau aku dulu pernah jadi kuli gendong di pasar Beringharjo," tutur Adji mengawali ceritanya.
Selama tiga bulan hampir setiap dinihari ia menuju ke pasar terbesar di kota Yogyakarta itu untuk menyamar menjadi buruh gendong mengangkut/menurunkan hasil bumi pesanan para bakul-bakul pasar dari atas truk atau pikap. Meskipun berminggu-minggu ia sudah menjalani pekerjaan sebagai buruh gendong ia mengaku tetap sulit melepaskan belenggu perasaan status sosialnya sebagai keturunan priyayi keraton.
"Ketika bertemu orang dalam hati kecil saya tetap tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa saya ini priyayi," aku Adji. "Tetapi perasaan bahwa saya ini priyayi hilang.seketika ketika suatu saat saya menerima upah dari seorang bakul uang 500 rupiah, dan saya bilang ke bakul yang memberi uang itu, 'matur nuwun nggih DEN' (terima kasih tuan) sambil membungkukkan badan," ucap Adji yang kesehariannya berpenampilan sederhana, berkaos oblong. Den adalah singkatan dari Raden, sebutan halus untuk menghormati keturunan keraton.
"Sejak itu hati saya merasa plong, bisa melepaskan diri (dari kesombongan) sebagai keturunan priyayi. Saya tak canggung lagi bergaul dengan semua lapisan masyarakat," ucap mantan aktifis mahasiswa yang pada awal-awal tahun 1990-an sering demo turun ke jalan, bahkan pernah disel di tahanan khusus Makorem Yogyakarta.
Perasaan yang diungkapkan oleh Adji ini bertolak belakang dengan mayoritas kaum priyayi yang menginginkan agar status kepriyayiannya diketahui oleh masyarakat luas. Bahkan tidak sedikit tokoh nasional yang berupaya dengan berbagai cara agar mendapatkan status priyayi atau minimal mendapatkan simbol-simbol 'keningratan' dengan membeli aset-aset milik keraton atau membangun kediamannya laksana keraton.
Salah satunya adalah Pak Harto, mantan presiden RI yang kini sedang berjuang melawan sakaratul maut dan menyedot perhatian dan energi petinggi pemerintahan, masyarakat dan pers yang memberikan porsi pemberitaan luar biasa pada saat-saat kritis penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, sehingga seolah-olah pemberitaan yang lain tidak dianggap penting.
Anak seorang petani dari Desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta itu setelah menjadi penguasa Orba berupaya dengan berbagai cara untuk meningkatkan derajat dirinya dari seorang rakyat biasa menjadi priyayi yang tidak kalah dengan mereka yang benar-benar berdarah priyayi Kraton. Soeharto dan adik tirinya, Probosutejo selain membangun beberapa Dalem seperti Dalem Kalitan, Astana Giri Bangun, juga membeli beberapa Dalem/rumah bangsawan Kraton Yogya dan Solo untuk dijadikan sebagai 'istana'nya. Jadilah dinasti Soeharto menjadi 'priyayi' baru yang disegani, 'disembah-sembah' oleh para kroninya sekaligus ditakuti.
Salahkah menjadi priyayi? Sama sekali tidak. Hanya saja jadilah priyayi yang rendah hati, bisa menjadi pengayom, pelindung rakyat, tahtanya untuk rakyat sebagaimana sudah dibuktikan oleh almarhum Sri Sultan HB IX. Lak mekaten Denmas Adji, eeh mas Adji he he he. (ahmad suroso)
SEPERTI bulan-bulan sebelumnya, saat saya pulang menengok keluarga tanggal 7-14 Januari 2008 kemarin-- teman-teman kantor menyebutnya S3/Sebulan Sekali Setor... hehehe-- di Yogyakarta, aku selalu menyempatkan mampir ke rumah kawan karib BSW Adjikoesoemo di rumahnya yang tergolong mewah di Perumahan elit Griya Mahkota, Jl Godean. Saya bilang mewah, karena rumahnya gabungan dari tiga kapling rumah berlantai dua, interior dalamnya perpaduan antara interior modern dengan klasik dihiasi ukir-ukiran kayu jati, termasuk pilar-pilar utama, dan plafon ruang tamu (seluas sekitar 15x10 meter).
Tidak mengherankan bila rumah Aji ini mirip keraton, karena lelaki yang sudah dikaruniai tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Evi ini memang masih keturunan priyayi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Adjikoesoemo adalah cucu BRAy Poedjokoesoemo, istri adik Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang memproduksi jamu tradisional khusus kecantikan dengan label "Sekar Mataram". Semua bangunan itu merupakan hasil keringatnya sendiri dari kesuksesan bisnisnya memproduksi jamu tradisional, dan menciptakan pengobatan herbal dan pupuk yang dipasarkan melalui sistem Multy Level Marketing.
Dalam kongkow kemarin ada satu cerita dia yang menggelitik saya untuk menuliskan pengalamannya. Saya tidak bermaksud menceritakan soal kekayaan dia, tetapi tekad Adji untuk melepaskan belenggu 'baju kepriyayiannya' sebagai keturunan keraton demi komitmennya supaya dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat secara egaliter , tanpa membedakan status sosial, dan membela nasib wong cilik.
Jebolan Fakultas Filsafat yang pada masa mudanya bertahun-tahun 'nyantri' di sejumlah pesantren ini mengaku tidak mudah untuk menghilangkan perasaannya bahwa dia adalah seorang priyayi. "Percaya nggak mas, kalau aku dulu pernah jadi kuli gendong di pasar Beringharjo," tutur Adji mengawali ceritanya.
Selama tiga bulan hampir setiap dinihari ia menuju ke pasar terbesar di kota Yogyakarta itu untuk menyamar menjadi buruh gendong mengangkut/menurunkan hasil bumi pesanan para bakul-bakul pasar dari atas truk atau pikap. Meskipun berminggu-minggu ia sudah menjalani pekerjaan sebagai buruh gendong ia mengaku tetap sulit melepaskan belenggu perasaan status sosialnya sebagai keturunan priyayi keraton.
"Ketika bertemu orang dalam hati kecil saya tetap tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa saya ini priyayi," aku Adji. "Tetapi perasaan bahwa saya ini priyayi hilang.seketika ketika suatu saat saya menerima upah dari seorang bakul uang 500 rupiah, dan saya bilang ke bakul yang memberi uang itu, 'matur nuwun nggih DEN' (terima kasih tuan) sambil membungkukkan badan," ucap Adji yang kesehariannya berpenampilan sederhana, berkaos oblong. Den adalah singkatan dari Raden, sebutan halus untuk menghormati keturunan keraton.
"Sejak itu hati saya merasa plong, bisa melepaskan diri (dari kesombongan) sebagai keturunan priyayi. Saya tak canggung lagi bergaul dengan semua lapisan masyarakat," ucap mantan aktifis mahasiswa yang pada awal-awal tahun 1990-an sering demo turun ke jalan, bahkan pernah disel di tahanan khusus Makorem Yogyakarta.
Perasaan yang diungkapkan oleh Adji ini bertolak belakang dengan mayoritas kaum priyayi yang menginginkan agar status kepriyayiannya diketahui oleh masyarakat luas. Bahkan tidak sedikit tokoh nasional yang berupaya dengan berbagai cara agar mendapatkan status priyayi atau minimal mendapatkan simbol-simbol 'keningratan' dengan membeli aset-aset milik keraton atau membangun kediamannya laksana keraton.
Salah satunya adalah Pak Harto, mantan presiden RI yang kini sedang berjuang melawan sakaratul maut dan menyedot perhatian dan energi petinggi pemerintahan, masyarakat dan pers yang memberikan porsi pemberitaan luar biasa pada saat-saat kritis penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu, sehingga seolah-olah pemberitaan yang lain tidak dianggap penting.
Anak seorang petani dari Desa Kemusuk, Bantul, Yogyakarta itu setelah menjadi penguasa Orba berupaya dengan berbagai cara untuk meningkatkan derajat dirinya dari seorang rakyat biasa menjadi priyayi yang tidak kalah dengan mereka yang benar-benar berdarah priyayi Kraton. Soeharto dan adik tirinya, Probosutejo selain membangun beberapa Dalem seperti Dalem Kalitan, Astana Giri Bangun, juga membeli beberapa Dalem/rumah bangsawan Kraton Yogya dan Solo untuk dijadikan sebagai 'istana'nya. Jadilah dinasti Soeharto menjadi 'priyayi' baru yang disegani, 'disembah-sembah' oleh para kroninya sekaligus ditakuti.
Salahkah menjadi priyayi? Sama sekali tidak. Hanya saja jadilah priyayi yang rendah hati, bisa menjadi pengayom, pelindung rakyat, tahtanya untuk rakyat sebagaimana sudah dibuktikan oleh almarhum Sri Sultan HB IX. Lak mekaten Denmas Adji, eeh mas Adji he he he. (ahmad suroso)
Kamis, 03 Januari 2008
Asa pun berguguran
Asa pun berguguran
TIDAK biasanya bigbos dari Jakarta itu menghampiri dan merangkul pundak si fulan sambil menarik agak menjauh dari temen-teman lainnya yang sedang bekerja, saat mengunjungi 'kantor cabangnya' Oktober 2007 lalu. Ada apa gerangan? Pikir si fulan. Setelah terpisah agak jauh dari karyawan lainnya, bigbos membisikkan kata-kata singkat sambil mengumbar senyum, "Sabar ya mas, tunggu bulan Desember".
Si Fulan hanya manggut-manggut , hatinya penasaran? Apa maksud janji yang menyiratkan adanya harapan menggembirakan. Karena itu keesokan harinya si Fulan iseng-iseng cerita pada orang kedua (bos II) di kantor cabang itu soal omongan bigbos. Singkat cerita, intinya dia bilang saat bertemu dengan bigbos bersama orang nomor satu di kantor cabang itu, dia bilang ke bigbos kalo punya anak buah , orangnya ini baik, kerjanya bagus, meskipun tidak menuntut, sudah selayaknya diberi penghargaan lebih.
Si Bigbos setelah tahu orang dimaksud itu si Fulan, langsung memerintahkan kepada bos I di perusahaan itu untuk segera mengajukan skema baru gaji si Fulan paling lambat Desember. Dan itulah yang kemudian diomongkan pada si Fulan. Tentu saja si Fulan berharap sangat akan ada perubahan pada Desember 2007.
Tapi ternyata di akhir Desember saat menerima struk gaji, si Fulan kecewa. Karena struk gaji yang diterimanya masih sama seperti yang diterima saat ia diangkat pada posisi yang sudah tiga tahun jalan di empat. Kekecewaan --meskipun hanya disimpan dalam hati--merupakan yang kesekian kalinya. Sebelumnya, ia paling tidak sudah dua kali dibisiki --untuk dipromosikan di dua kantor cabang baru yang hendak dibuka. Namun kedua-duanya ewes-ewes bablas angine. hehehehe
Si Fulan pun merenung, mencoba instrospeksi dengan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, kemudian menimbang-nimbang pantaskah ia meminta 'lebih'. Fulan lalu teringat pada teman-teman se angkatannya yang lebih beruntung, sudah 'naik pangkat'. Begitu dengan dengan teman-teman barunya.
Kerja Demi Siapa?
Tiba-tiba datang datang 'kembaran' si Fulan menghampiri. "Hai Fulan, mengapa kamu hari ini kok terlihat murung, tak bersemangat?". Ceritalah si Fulan soal diriya tersebut.
"Begini saudaraku. Kamu tidak boleh murung atau putus asa. Sebagai hamba Allah, kita harus sabar. Ikhlas menerima kenyataan. Dengan hati ikhlas, pasrah kepada Allah, insyaallah kamu akan hidup lebih tenang," bujuk si kembar yang sehari-harinya selalu berupaya memperbanyak mengingatNya, dzikron katsiron. "Sesungguhnya Nabi Muhammad, sedetikpun tidak pernah putus hubungannya dengan Allah SWT"
"Sekarang pikirkanlah kamu bekerja itu untuk apa?"
Belum lagi Fulan menjawab, si kembar melanjutkan nasihatnya. "Kebanyakan orang kalo ditanya begitu, jawabnya biasanya karena demi uang, demi anak istri, demi jabatan, demi mendapatkan penghargaan, dan hal-hal lain yang bersifat materi.. Kalau kamu bekerja karena itu, kamu suatu saat pasti akan menemui kekecewaan," tutur si kembar.
Yang benar dan ini yang harus kami tanamkan kedalam hatinuranimu, kita bekerja itu harus diniati karena Allah, nawaitu kita bekerja itu untuk IBADAH, untuk mendapat ridha-Nya. Ingatlah sabda Nabi, "Innamal a'malu bi niat", "sesungguhnya amal itu bersama niat".
Maka yang membedakan sesuatu itu termasuk IBADAH atau hanya TAMPAKnya saja ibadah, adalah NIATnya. Apabila NIATnya :"Semata-mata menjalankan PERINTAH ALLOH",
maka semua apa yang kita lakukan adalah Ibadah.. Sebaliknya, seandainya niat kita ternyata adalah selain itu, maka meskipun wujudnya, atau gambarnya atau tampaknya ibadah,
tetapi NILAI Ibadahnya adalah tidak ada.
Syahadat adalah bentuk Ibadah,
Sholat adalah bentuk Ibadah, Puasa adalah bentuk ibadah,
Zakat adalah bentuk Ibadah, Haji adalah bentuk ibadah
Tetapi seandainya bentuk-bentuk Ibadah tersebut tidak kita niatkan "SEMATA-MATA karena menjalankan perintah ALLAH", maka apa-apa yang kita kerjakan hanyalah BENTUKnya saja, hanyalah GAMBARnya saja, hanyalah TAMPILANnnya, tidak ada nilai ibadahnya alias KOSONG MELOMPONG.
Maka jagalah, dan perhatikanlah masalah NIAT, letakkan kesadaran pada Semata-mata menjalankan perintah ALLAH. Bukan yang lainnya.
Maka si Fulan pun manggut-manggut mendengar nasihat si kembar sambil berdoa semoga Gusti Allah membuka hati dan ruhnya untuk bisa mencerap apa yang tersirat dibalik setiap kejadian dan firmannya. (Ahmad Suroso)
TIDAK biasanya bigbos dari Jakarta itu menghampiri dan merangkul pundak si fulan sambil menarik agak menjauh dari temen-teman lainnya yang sedang bekerja, saat mengunjungi 'kantor cabangnya' Oktober 2007 lalu. Ada apa gerangan? Pikir si fulan. Setelah terpisah agak jauh dari karyawan lainnya, bigbos membisikkan kata-kata singkat sambil mengumbar senyum, "Sabar ya mas, tunggu bulan Desember".
Si Fulan hanya manggut-manggut , hatinya penasaran? Apa maksud janji yang menyiratkan adanya harapan menggembirakan. Karena itu keesokan harinya si Fulan iseng-iseng cerita pada orang kedua (bos II) di kantor cabang itu soal omongan bigbos. Singkat cerita, intinya dia bilang saat bertemu dengan bigbos bersama orang nomor satu di kantor cabang itu, dia bilang ke bigbos kalo punya anak buah , orangnya ini baik, kerjanya bagus, meskipun tidak menuntut, sudah selayaknya diberi penghargaan lebih.
Si Bigbos setelah tahu orang dimaksud itu si Fulan, langsung memerintahkan kepada bos I di perusahaan itu untuk segera mengajukan skema baru gaji si Fulan paling lambat Desember. Dan itulah yang kemudian diomongkan pada si Fulan. Tentu saja si Fulan berharap sangat akan ada perubahan pada Desember 2007.
Tapi ternyata di akhir Desember saat menerima struk gaji, si Fulan kecewa. Karena struk gaji yang diterimanya masih sama seperti yang diterima saat ia diangkat pada posisi yang sudah tiga tahun jalan di empat. Kekecewaan --meskipun hanya disimpan dalam hati--merupakan yang kesekian kalinya. Sebelumnya, ia paling tidak sudah dua kali dibisiki --untuk dipromosikan di dua kantor cabang baru yang hendak dibuka. Namun kedua-duanya ewes-ewes bablas angine. hehehehe
Si Fulan pun merenung, mencoba instrospeksi dengan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, kemudian menimbang-nimbang pantaskah ia meminta 'lebih'. Fulan lalu teringat pada teman-teman se angkatannya yang lebih beruntung, sudah 'naik pangkat'. Begitu dengan dengan teman-teman barunya.
Kerja Demi Siapa?
Tiba-tiba datang datang 'kembaran' si Fulan menghampiri. "Hai Fulan, mengapa kamu hari ini kok terlihat murung, tak bersemangat?". Ceritalah si Fulan soal diriya tersebut.
"Begini saudaraku. Kamu tidak boleh murung atau putus asa. Sebagai hamba Allah, kita harus sabar. Ikhlas menerima kenyataan. Dengan hati ikhlas, pasrah kepada Allah, insyaallah kamu akan hidup lebih tenang," bujuk si kembar yang sehari-harinya selalu berupaya memperbanyak mengingatNya, dzikron katsiron. "Sesungguhnya Nabi Muhammad, sedetikpun tidak pernah putus hubungannya dengan Allah SWT"
"Sekarang pikirkanlah kamu bekerja itu untuk apa?"
Belum lagi Fulan menjawab, si kembar melanjutkan nasihatnya. "Kebanyakan orang kalo ditanya begitu, jawabnya biasanya karena demi uang, demi anak istri, demi jabatan, demi mendapatkan penghargaan, dan hal-hal lain yang bersifat materi.. Kalau kamu bekerja karena itu, kamu suatu saat pasti akan menemui kekecewaan," tutur si kembar.
Yang benar dan ini yang harus kami tanamkan kedalam hatinuranimu, kita bekerja itu harus diniati karena Allah, nawaitu kita bekerja itu untuk IBADAH, untuk mendapat ridha-Nya. Ingatlah sabda Nabi, "Innamal a'malu bi niat", "sesungguhnya amal itu bersama niat".
Maka yang membedakan sesuatu itu termasuk IBADAH atau hanya TAMPAKnya saja ibadah, adalah NIATnya. Apabila NIATnya :"Semata-mata menjalankan PERINTAH ALLOH",
maka semua apa yang kita lakukan adalah Ibadah.. Sebaliknya, seandainya niat kita ternyata adalah selain itu, maka meskipun wujudnya, atau gambarnya atau tampaknya ibadah,
tetapi NILAI Ibadahnya adalah tidak ada.
Syahadat adalah bentuk Ibadah,
Sholat adalah bentuk Ibadah, Puasa adalah bentuk ibadah,
Zakat adalah bentuk Ibadah, Haji adalah bentuk ibadah
Tetapi seandainya bentuk-bentuk Ibadah tersebut tidak kita niatkan "SEMATA-MATA karena menjalankan perintah ALLAH", maka apa-apa yang kita kerjakan hanyalah BENTUKnya saja, hanyalah GAMBARnya saja, hanyalah TAMPILANnnya, tidak ada nilai ibadahnya alias KOSONG MELOMPONG.
Maka jagalah, dan perhatikanlah masalah NIAT, letakkan kesadaran pada Semata-mata menjalankan perintah ALLAH. Bukan yang lainnya.
Maka si Fulan pun manggut-manggut mendengar nasihat si kembar sambil berdoa semoga Gusti Allah membuka hati dan ruhnya untuk bisa mencerap apa yang tersirat dibalik setiap kejadian dan firmannya. (Ahmad Suroso)
Langganan:
Postingan (Atom)