EKSISTENSI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin terancam. Ancaman untuk melemahkan Komisi yang selama ini menjadi satu-satunya harapan publik untuk memberantas korupsi di Indonesia, di saat institusi lain, seperti kejaksaan dan Polri, belum bisa diharapkan untuk dapat memberantas korupsi itu bukan hanya tersandera oleh faktor ekstern, tapi juga intern.
Faktor luar, selain DPR dan pemerintah juga para koruptor. DPR sampai saat ini masih adem- ayem, tidak kunjung menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Padahal, Mahkamah Konstitusi hanya memberi tenggat DPR untuk menggolkan RUU Tipikor paling lambat Desember 2009.
Lewat itu maka otomatis Pengadilan Tipikor bubar, karena keberadaannya tidak sah. Dengan demikian nantinya penanganan kasus korupsi akan dikembalikan ke kepolisian dan kejaksaan.
Memang KPK tidak selamanya dapat berdiri, karena sifatnya adhoc. Jika Kepolisian dan Kejagung tugasnya sudah bagus, maka lembaga superbody itu dapat dibubarkan.
Masalahnya, kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi selama ini tidak maksimal. Tidak sedikit koruptor yang akhirnya divonis bebas, dan yang sudah divonis hukuman pun bisa kabur ke luar negeri. Seperti terpidana korupsi kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
bos Grup Mulia, yang merugikan negara Rp546 miliar. Dia kabur ke Papua Nugini pada 10 Juni 2009, hanya sehari menjelang putusan PK Mahkamah Agung yang memvonis dia dua tahun penjara bersama Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia.
Sementara KPK terbukti telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi indeks pemberantasan korupsi di Indonesia bisa terkerek melalui peran lembaga ini. Di Tangan KPK yang memiliki kewenangan luar biasa, termasuk melakukan penyadapan terhadap pihak yang diduga korupsi, belum ada satupun tersangka korupsi yang bisa bebas dari jerat hukum.
Kini, KPK kembali 'dikerjai'. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki KPK dijadikan sebagai celah untuk menggerogoti Komisi ini. Polisi menuduh penyadapan terkait urusan pribadi Antasari yang memerintahkan KPK untuk menyadap HP yang diduga milik Rani Juliani dan Nasrudin Zulkarnaen. Pihak kepolisian lalu memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah terkait penyadapan yang dilakukan KPK atas perintah Antasari.
Namun dalam jumpa pers di KPK, Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah mengakui KPK memang menyadap sejumlah nomor telepon yang diberikan Antasari Azhar. Nomor-nomor telepon itu yang digunakan pelaku teror terhadap istri Antasari Azhar. Salah satu teror yang diterima istrinya, Antasari diminta tidak melanjutkan pengusutan sebuah kasus korupsi.
Pimpinan KPK menilai penyadapan itu dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan tidak melanggar kode etik. Dan sadap menyadap merupakan salah satu instrumen penting bagi pemberantasan korupsi. Soal penyadapan KPK memiliki akreditasi dari Eropa, dan KPK sudah cukup akuntabel, dan kredibel. Dari segi prosedur dan juga kode etik tidak perlu khawatir sistem ada penyimpangan.
Para pengamat menilai, pangkal persoalan dari kasus penyadapan KPK yang dipersoalkan itu karena adanya rivalitas penegak hukum. Tetapi ada upaya lebih menyeramkan untuk mengganggu upaya pemberantasan korupsi. Kelihatannya dari kasus Antasari ada upaya sistematis untuk melemahkan atau mendelegitimasi KPK.
Seharusnya dalam koridor sebagai sesama lembaga penegak hukum, polisi tidak harus masuk ke wilayah penyadapan. Penyadapan sejauh itu untuk penanganan kasus korupsi sah-sah saja. Toh sejauh ini KPK tidak pernah mempublikasikan hasil penggunaan penyadapan. (ahmad suroso)
Corner Tribunbatam, 24 Juni 2009
Rabu, 24 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar