MAHKAMAH Konstitusi (MK) Senin (19/4/2010) ini akan membacakan putusan atas uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Berbagai kalangan menilai, vonis tersebut akan menjadi ujian kenegarawanan dan integritas bagi para hakim konstitusi untuk mengawal dan membela konstitusionalisme yang menjadi paham penyelenggaraan Negara Indonesia.
Misalnya, seperti diungkapkan Ketua Badan Pengurus Setara Institusi, Hendardi, yang meminta MK tidak lagi "berpolitik" dengan menyajikan putusan-putusan yang hanya memenuhi hasrat kelompok-kelompok mayoritas. Sebab tugas MK sekarang, bukanlah untuk menghitung para pendukung dan pihak yang kontra dengan dalil mayoritas versus minoritas.
Seperti diketahui, gugatan (uji materil) UU Penodaan agama tersebut diajukan sejumlah LSM yang terdiri atas Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM). Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Menanggapi permintaan dan harapan tersebut Ketua MK Moh Mahfud MD menyatakan pihaknya (sembilan hakim konstitusi) tidak dipengaruhi pihak manapun dalam memutuskan vonis uji materi UU No 1/PNPS/1965. Pernyataan Ketua MK Mahfud MD yang dimuat di situs MK Jumat (16/4) itu menarik untuk digarisbawahi.
Mahfud menjamin, MK memutus dengan independen, tak terpengaruh oleh tekanan atau opini publik yang berkembang di luar sidang-sidang Mahkamah. MK hanya mendasarkan diri pada ketentuan UUD 1945 dan fakta hukum yang muncul di persidangan. MK tak pernah bisa ditekan oleh kelompok apa pun dan dengan cara unjuk rasa yang bagaimanapun.
Putusan MK, lanjut Mahfud dibuat bukan berdasarkan pihak mana yang mendapat dukungan lebih banyak atau pihak mana yang tidak mendapat dukungan. Putusan yang didasarkan berdasar besar/kecilnya dukungan itu adalah putusan politik. MK hanya membuat putusan hukum yang dasarnya adalah logika konstitusi dan hukum. UUD 1945 telah mengatur dengan rinci dan ketat mengenai perlinduangan HAM dan itulah tolok ukur utama dalam pembuatan putusan MK.
Dalam membuat putusan MK juga tidak terikat pada pandangan-pandangan teoretis atau pendapat ahli dan pengalaman di negara lain. Pandangan ahli, teori konstitusi, dan pengalaman negara lain hanya sebagai sumber pembanding dan bukan sumber penentu. Sumber penentunya adalah UUD 1945 yang tafsir-tafsirnya memang bisa saja ditemukan dalam pendapat ahli atau teori-teori. Tapi pendapat ahli atau teori itu tak mengikat, sebab meskipun baik belum tentu dianut di dalam UUD 1945.
Begitu juga MK tak membuat putusan berdasar ayat-ayat agama, melainkan berdasar ayat-ayat konstitusi yang berlaku di Indonesia. MK berprinsip bahwa hak dan kebebasan beragama adalah hak azasi yang tak boleh diganggu atau saling mengganggu.
MK akan menyajikan konstruksi hukum dan menganalisis setiap argumen yang diajukan oleh pihak-pihak dan para ahli yang dihadirkan dalam sidang. Dengan cara menjawab semua isu itu, saya yakin putusan MK bisa dipahami dan dapat menyelesaikan pro dan kontra, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.
Dari penjelasan Ketua MK Mahfud tersebut kita berharap, masyarakat tak perlu khawatir atas kualitas putusan itu. Seluruh masyarakat diharapkan mau menerima secara lega, ikhlas dan tidak berlaku anarkis atas putusan apa pun MK sebagai lembaga hukum tertinggi yang berwenang menguji apakah sebuah peraturan atau undang-undang itu bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Sikap anarkis hanya akan melahirkan amuk massa, seperti terjadi pada kasus penggusuran areal makam keramat Mbah Priuk di Koja, Tanjung Priok, Jakarta beberapa hari lalu. (ahmad suroso)
Tajuk/corner tribun batam 19/4/2010
Rabu, 21 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar