HARI ini, 21 April bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita Indonesia merayakan Hari Kartini 2010. Jika dulu Raden Ajeng Kartini memperjuangkan kebebasan dari penjajahan bagi kaumnya, perjuangan perempuan masa kini bukan lagi perjuangan emansipasi tetapi perjuangan kesetaraan gender. Bukan lagi membebaskan diri dari penjajahan kaum pria tetapi benar-benar menjadi sejajar dengan kaum pria.
Semangat kesetaraan gender mendorong usaha-usaha seperti tindakan afirmasi untuk penguatan posisi tawar kaum perempuan di ranah politik. Para aktivis wanita mendesak diadakannya suatu tindakan khusus sementara berupa kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik dan lembaga dewan perwakilan rakyat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Ada fenomena menarik dari momentum peringatan Hari Kartini tahun ini yang bertepatan dengan 'tahun politik', yakni tahun dilaksanakannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak di lebih dari 240 daerah. Pertama, tampilnya para istri pendamping kepala daerah untuk maju menjadi calon gubernur, calon bupati, karena jabatan suaminya sudah dua periode sehingga tak memungkinkan maju lagi.
Kedua, majunya para Kartini abad milenium dari kalangan artis-artis perempuan pada pemilukada. Mereka tertantang untuk menjajal kemampuannya berpolitik, seperti rekan-rekannya di DPR, antara lain artis Nurul Arifin, Vena Melinda, Angelina Sondakh, Rachel Maryam, Rieke Dyah Pitaloka.
Kali ini para artis perempuan meramaikan ajang pemilukada. Sebut saja Inul Daratista, Julia Perez, Maria eva, Ratih Sanggarwati yang mencoba mencalonkan menjadi bupati/wakil bupati mewakili daerah asalnya. Fenomena ini setidaknya menjadi bukti betapa kaum wanita Indonesia masa kini memiliki kesempatan sangat luas untuk berkiprah dan berkarya di segala bidang.
Mantan model kondang tahun 80-an Ratih Sanggarwati akan mencalonkan diri menjadi wakil bupati Ngawi, Maria Eva mewakili Sidoarjo, Vena Melinda mewakili Blitar, Julia Perez alias Jupe mewakili Pacitan, semuanya di wilayah Provinsi Jatim. Ayu Azhari mewakili Sukabumi (yang kemudian batal) dll.
Khusus untuk Maria Eva dan Jupe masih mengundang kontroversi, karena Maria Eva memiliki rekam jejak sebagai artis yang pernah terlibat skandal dengan seorang legislator Senayan, bahkan video mesumnya sempat beredar. Untuk Jupe karena keseronokan dalam penampilannya selama ini. Sampai-sampai Mendagri Gamawan Fauzi mengusulkan pelarangan bagi seorang penzina mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Majunya Maria Eva, Jupe yang merasa dirinya mampu sah-sah saja. Karena berpolitik adalah hak mutlak setiap warga negara Indonesia dan ini diatur dengan undang-undang. Masyarakat tentunya akan memilih dengan senang hati, namun bila dirasakan tidak berkenan dihati karena keseronokannya, karena masa lalunya, masyarakat yang diwakilinya berhak pula untuk tidak setuju.
Menjadi Kartini sesungguhnya sangatlah sulit. Kartinidi eranya (21 April 1879 - 17 September 1904) begitu memilukan terkungkung oleh keadaan, penuh perjuangan terhadap penjajahan untuk menuntut emansipasi wanita. Karena tak bisa mengekspresikan gejolak hati dan pikirannya secara bebas, Kartini lalu menuliskan dalam bentuk surat-surat ke rekannya. Surat-surat visionernya kepada para sahabatnya di Negeri Belanda dikumpulkan dan diberi judul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Karenanya ia dianggap sebagai penghapus era kegelapan bagi kaum wanita di tanah air.
Bila artis perempuan kita ingin menjadi kartini berikutnya, maka belajarlah bagaimana bersikap dan bertindak sebagai perempuan asli Indonesia. Tentu mereka harus menunjukkan sebagai tokoh yang berkualitas, bukan tokoh karbitan, apalagi hanya bermodal ketenaran. Karena kekuasaan dan kepemimpinan yang semakin besar atau tinggi menuntut semakin besar dan tingginya tanggung jawab. (ahmad suroso*)
Tajuk/corner tribun batam 21/4/2010
Rabu, 21 April 2010
Hari Ini Uji Independensi MK
MAHKAMAH Konstitusi (MK) Senin (19/4/2010) ini akan membacakan putusan atas uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Berbagai kalangan menilai, vonis tersebut akan menjadi ujian kenegarawanan dan integritas bagi para hakim konstitusi untuk mengawal dan membela konstitusionalisme yang menjadi paham penyelenggaraan Negara Indonesia.
Misalnya, seperti diungkapkan Ketua Badan Pengurus Setara Institusi, Hendardi, yang meminta MK tidak lagi "berpolitik" dengan menyajikan putusan-putusan yang hanya memenuhi hasrat kelompok-kelompok mayoritas. Sebab tugas MK sekarang, bukanlah untuk menghitung para pendukung dan pihak yang kontra dengan dalil mayoritas versus minoritas.
Seperti diketahui, gugatan (uji materil) UU Penodaan agama tersebut diajukan sejumlah LSM yang terdiri atas Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM). Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Menanggapi permintaan dan harapan tersebut Ketua MK Moh Mahfud MD menyatakan pihaknya (sembilan hakim konstitusi) tidak dipengaruhi pihak manapun dalam memutuskan vonis uji materi UU No 1/PNPS/1965. Pernyataan Ketua MK Mahfud MD yang dimuat di situs MK Jumat (16/4) itu menarik untuk digarisbawahi.
Mahfud menjamin, MK memutus dengan independen, tak terpengaruh oleh tekanan atau opini publik yang berkembang di luar sidang-sidang Mahkamah. MK hanya mendasarkan diri pada ketentuan UUD 1945 dan fakta hukum yang muncul di persidangan. MK tak pernah bisa ditekan oleh kelompok apa pun dan dengan cara unjuk rasa yang bagaimanapun.
Putusan MK, lanjut Mahfud dibuat bukan berdasarkan pihak mana yang mendapat dukungan lebih banyak atau pihak mana yang tidak mendapat dukungan. Putusan yang didasarkan berdasar besar/kecilnya dukungan itu adalah putusan politik. MK hanya membuat putusan hukum yang dasarnya adalah logika konstitusi dan hukum. UUD 1945 telah mengatur dengan rinci dan ketat mengenai perlinduangan HAM dan itulah tolok ukur utama dalam pembuatan putusan MK.
Dalam membuat putusan MK juga tidak terikat pada pandangan-pandangan teoretis atau pendapat ahli dan pengalaman di negara lain. Pandangan ahli, teori konstitusi, dan pengalaman negara lain hanya sebagai sumber pembanding dan bukan sumber penentu. Sumber penentunya adalah UUD 1945 yang tafsir-tafsirnya memang bisa saja ditemukan dalam pendapat ahli atau teori-teori. Tapi pendapat ahli atau teori itu tak mengikat, sebab meskipun baik belum tentu dianut di dalam UUD 1945.
Begitu juga MK tak membuat putusan berdasar ayat-ayat agama, melainkan berdasar ayat-ayat konstitusi yang berlaku di Indonesia. MK berprinsip bahwa hak dan kebebasan beragama adalah hak azasi yang tak boleh diganggu atau saling mengganggu.
MK akan menyajikan konstruksi hukum dan menganalisis setiap argumen yang diajukan oleh pihak-pihak dan para ahli yang dihadirkan dalam sidang. Dengan cara menjawab semua isu itu, saya yakin putusan MK bisa dipahami dan dapat menyelesaikan pro dan kontra, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.
Dari penjelasan Ketua MK Mahfud tersebut kita berharap, masyarakat tak perlu khawatir atas kualitas putusan itu. Seluruh masyarakat diharapkan mau menerima secara lega, ikhlas dan tidak berlaku anarkis atas putusan apa pun MK sebagai lembaga hukum tertinggi yang berwenang menguji apakah sebuah peraturan atau undang-undang itu bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Sikap anarkis hanya akan melahirkan amuk massa, seperti terjadi pada kasus penggusuran areal makam keramat Mbah Priuk di Koja, Tanjung Priok, Jakarta beberapa hari lalu. (ahmad suroso)
Tajuk/corner tribun batam 19/4/2010
Misalnya, seperti diungkapkan Ketua Badan Pengurus Setara Institusi, Hendardi, yang meminta MK tidak lagi "berpolitik" dengan menyajikan putusan-putusan yang hanya memenuhi hasrat kelompok-kelompok mayoritas. Sebab tugas MK sekarang, bukanlah untuk menghitung para pendukung dan pihak yang kontra dengan dalil mayoritas versus minoritas.
Seperti diketahui, gugatan (uji materil) UU Penodaan agama tersebut diajukan sejumlah LSM yang terdiri atas Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM). Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi, Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Menanggapi permintaan dan harapan tersebut Ketua MK Moh Mahfud MD menyatakan pihaknya (sembilan hakim konstitusi) tidak dipengaruhi pihak manapun dalam memutuskan vonis uji materi UU No 1/PNPS/1965. Pernyataan Ketua MK Mahfud MD yang dimuat di situs MK Jumat (16/4) itu menarik untuk digarisbawahi.
Mahfud menjamin, MK memutus dengan independen, tak terpengaruh oleh tekanan atau opini publik yang berkembang di luar sidang-sidang Mahkamah. MK hanya mendasarkan diri pada ketentuan UUD 1945 dan fakta hukum yang muncul di persidangan. MK tak pernah bisa ditekan oleh kelompok apa pun dan dengan cara unjuk rasa yang bagaimanapun.
Putusan MK, lanjut Mahfud dibuat bukan berdasarkan pihak mana yang mendapat dukungan lebih banyak atau pihak mana yang tidak mendapat dukungan. Putusan yang didasarkan berdasar besar/kecilnya dukungan itu adalah putusan politik. MK hanya membuat putusan hukum yang dasarnya adalah logika konstitusi dan hukum. UUD 1945 telah mengatur dengan rinci dan ketat mengenai perlinduangan HAM dan itulah tolok ukur utama dalam pembuatan putusan MK.
Dalam membuat putusan MK juga tidak terikat pada pandangan-pandangan teoretis atau pendapat ahli dan pengalaman di negara lain. Pandangan ahli, teori konstitusi, dan pengalaman negara lain hanya sebagai sumber pembanding dan bukan sumber penentu. Sumber penentunya adalah UUD 1945 yang tafsir-tafsirnya memang bisa saja ditemukan dalam pendapat ahli atau teori-teori. Tapi pendapat ahli atau teori itu tak mengikat, sebab meskipun baik belum tentu dianut di dalam UUD 1945.
Begitu juga MK tak membuat putusan berdasar ayat-ayat agama, melainkan berdasar ayat-ayat konstitusi yang berlaku di Indonesia. MK berprinsip bahwa hak dan kebebasan beragama adalah hak azasi yang tak boleh diganggu atau saling mengganggu.
MK akan menyajikan konstruksi hukum dan menganalisis setiap argumen yang diajukan oleh pihak-pihak dan para ahli yang dihadirkan dalam sidang. Dengan cara menjawab semua isu itu, saya yakin putusan MK bisa dipahami dan dapat menyelesaikan pro dan kontra, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.
Dari penjelasan Ketua MK Mahfud tersebut kita berharap, masyarakat tak perlu khawatir atas kualitas putusan itu. Seluruh masyarakat diharapkan mau menerima secara lega, ikhlas dan tidak berlaku anarkis atas putusan apa pun MK sebagai lembaga hukum tertinggi yang berwenang menguji apakah sebuah peraturan atau undang-undang itu bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Sikap anarkis hanya akan melahirkan amuk massa, seperti terjadi pada kasus penggusuran areal makam keramat Mbah Priuk di Koja, Tanjung Priok, Jakarta beberapa hari lalu. (ahmad suroso)
Tajuk/corner tribun batam 19/4/2010
Langganan:
Postingan (Atom)