BILA mencermati masa seratus (100) hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Wapres Boediono, layak menyebutnya dengan tahun kisruh. Negeri ini silih berganti dilanda kekrisuhan, mulai dari kisruh kisak cicak-buaya (KPK-Polisi), korupsi Bank Century yang membuat suhu politik memanas sampai berujung pada wacana impeachment (pemakzulan), pembobolan ATM bank, kasus Antasari Azhar, aksi makelar kasus (markus), pembagian toyota mewah Crown royal saloon untuk para menteri dan pejabat tinggi negara, sampai demo besar- besaran menyambut 100 hari pemerintahan SBY-Boediono.
Begitu masifnya perhatian media massa dan publik serta elit-elit politik dan pengamat, sampai- sampai Presiden SBY mengekspresikan kegusarannya dengan menyebut, "Betapa gaduhnya negeri ini". Presiden sah-sahnya berkata seperti itu, karena kondisinya memang demikian. Tetapi, satu hal yang perlu dicermati, para elite sepertinya tidak menyadari bahwa perilaku mereka telah membuat masyarakat biasa seperti para pegawai kecil, petani, buruh, pedagang kecil, ibu-ibu rumah tangga, buruh migran menjadi bingung.
Kebingungan dan pada tingkat tertentu sampai menimbulkan frustasi di kalangan masyarakat dipicu oleh kegagalan elite dalam menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan publik yang lebih luas. Dalam sebuah sistem yang sudah berubah menjadi demokratis, para elite ternyata masih bersifat konservatif. Mereka mengakomodasi dan menyepakati sesuatu berdasarkan kepentingan yang eksklusif.
Ini bisa dicermati dari keluarnya keputusan-keputusan pemerintah yang tidak populer di mata masyarakat. Mulai dari menambah pundi-pundi kekayaan para menteri dan pejabat tinggi negara dengan memberikan mereka fasilitas mobil dinas mewah merek Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp 1,3 miliar per unit, merenovasi tempat tinggal para wakil rakyat, pembelian pesawat kepresidenan seharga Rp 4,4 triliun yang sudah disetujui oleh DPR dan akan direalisir tahun 2011.
Kabar teranyar adalah pemerintah menaikkan gaji para pejabat negara, mulai dari presiden, pejabat tinggi negeri, para menteri, anggota DPR, gubernur, bupati-walikota antara 10 sampai 20 persen. Sementara untuk para PNS biasa, dan pensiunan kenaikkannya hanya 5 persen dari gaji pokok.
Dengan kenaikan gaji 20 persen, setiap bulan Presiden SBY akan menerima tambahan Rp 12,548 juta menjadi Rp 75 juta lebih, gaji wapres naik menjadi Rp 50 juta, menteri naik menjadi Rp 23 juta dari gaji sebelumnya. Demikian juga dengan anggota DPR yang selama ini sudah menerima gaji (take home pay) Rp 50 juta juga akan naik.
Rencana kenaikan gaji pejabat negara ini tak pelak lagi mengundang keprihatinan dan protes. Sebagian besar mengatakan, timingnya tidak tepat. Apalagi selama ini, para pejabat dan anggota DPR sudah mendapatkan berbagai macam tunjangan, mulai dari tunjangan rumah, mobil mewah, tunjangan komunikasi, dan lainnya. Para pejabat itu juga baru beberapa bulan menduduki jabatannya dan belum menunjukkan hasil kerjanya.
Partai politik juga cenderung mengabaikan ideologi dan program untuk konstituennya ketika sudah masuk arena parlemen dan pemerintahan. Mereka hanya mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan ideologi saat pemilu. Mereka ngotot dan galak ketika mengartikulasikan kepentingannya yang terkait dengan kekuasaan dan kepentingan ekslusif mereka, tetapi ketika menyangkut kehidupan hajat hidup masyarakat banyak diam. Sense of crisis terhadap persoalan sosial ekonomi masyarakat biasa sangat kecil. Masyarakat hanya bisa mencibir, "betapa enaknya jadi pejabat."
Perasaan dikhianati, ditipu dan lain sebagainya pada akhirnya melahirkan krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan pada generasi muda dan masyarakat pada umumnya. Tak heran bila demo memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono 28 Januari kemarin diwarnai hujatan kepada pemerintah sampai pada tuntutan rezim yang berkuasa untuk 'lempar handuk putih'. (ahmad suroso)
Tajuk Tribun Batam, 1 Februari 2010
Minggu, 31 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar