MESKIPUN Indonesia sudah mempunyai UU 3/1997 tentang Perlindungan Anak, kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengerti atau tidak mau tahu soal perlindungan anak. Anak yang didefinisikan sebagai seseorang berusia di bawah 18 tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan, oleh sebagian masyarakat masih saja dianggap barang yang bisa diperlakukan sewenang-wenang, kriminalisasi terhadap anak masih saja terjadi disana-sini.
Kasus terhangat yang membuat nurani kita merasa miris menimpa Ferdiansyah, warga kampung Jerowante, Desa Bendungan, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Anak berusia 14 tahun itu meregang nyawa akibat luka berat setelah dianiaya oleh puluhan warga masyarakat yang dipimpin oknum Ketua RT di Kampung Babakan, Desa Sukahati, Kecamatan Megamendung, Bogor, sekitar 1 km dari rumah orangtua Ferdi, Kamis (8/10) dinihari lalu.
Penganiayaan berawal ketika Fahmi (31), anak Cecep kehilangan dua telepon seluler dan uang Rp 1,3 juta di rumahnya pada Minggu (4/10) malam. Keluarga ini lalu menuduh Ferdi yang saat itu sedang bermain bersama tiga kawannya tak jauh dari rumah Fahmi sebagai pencurinya. Anak malang itu lalu diinterogasi dan dianiaya beramai-ramai oleh warga sampai kelenger, sebelum dipulangkan ke rumah orangtuanya.
Keesokan harinya (6/10) pukul 08.00, Fahmi bersama beberapa warga datang lagi ke rumah orangtua Ferdi menjemput paksa Ferdi dengan cara digotong seperti kambing dibawah tatapan Mimi, ibunya yang hanya bisa menangis, tak kuasa menahan. Siangnya kedua orangtua Ferdi menjemput anaknya di rumah Cecep. Sejak dari rumah Cecep sampai meninggalnya di RS Ciawi, Kamis dinihari (8/10), Ferdi tak pernah sadar lagi. Mimi melukiskan beratnya penganiayaan itu sampai kepala anaknya terasa lembek saat dipegang.
Setelah bocah malang itu meninggal, pihak kepolisian bertindak cepat. Sedikitnya 10 orang warga kampung Babakan, termasuk ketua RT yang diduga melakukan perbuatan main hakim sendiri sampai menghilangkan nyawa diciduk oleh polisi Polsek Megamendung.
Seperti diberitakan Kompas kemarin, di ruang sel tahanan an selasar sel tahanan Mapolsek Megamendung, sepanjang Sabtu (10/10) lalu ramai oleh isak tangis dari beberapa tersangka, istri, dan kerabat tersangka. Mereka menyesal, tindakan yang mereka maksudkan untuk mengungkap dugaan pencurian handphone dan uang tunai, berujung maut dan menyeret mereka ke sel tahanan sebelum nantinya dijebloskan ke penjara.
Kasus kekerasan atau kriminalisasi terhadap anak seperti menimpa Ferdi bisa jadi ibarat fenomena gunung es, yang muncul ke permukaan lebih sedikit daripada yang terjadi di masyarakat. Anak diperlakukan tak bedanya dengan orang dewasa, ketika mereka berbuat nakal, melakukan kesalahan atau dugaan pelanggaran pidana.
Anak punya hak hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Karena itu kita mengimbau kepada semua pihak untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Jangan lagi terjadi kriminalisasi terhadap anak. Bila anak melakukan kesalahan, sebagai orangtua kita wajib menegur. Ada sanksi, tapi bukan dengan pemukulan, bukan juga dengan kata-kata kasar, karena itu juga termasuk dalam kategori penganiayaan terhadap anak.
Kepentingan terbaik bagi anak juga harus dilakukan saat anak berhadapan dengan kasus hukum. Misalnya, untuk media, dengan tidak menayangkan atau memberitakan secara vulgar ditunjukkan mereka termasuk identitasnya, karena anak mempunyai masa depan. Kepada aparat hukum untuk tidak menindak kasus kenakalan anak sebagai satu kasus tindak pidana, atau kriminal. Di dalam UU Perlindungan Anak tidak ada kriminal anak, yang ada adalah anak nakal. Untuk anak nakal, kita mempunyai Departemen Sosial, punya lembaga rehabilitasi untuk anak-anak nakal. (ahmad suroso).
Tribun batam Corner, 11 Okt 2009
Minggu, 11 Oktober 2009
Langganan:
Postingan (Atom)